Sungai-sungai tersebut menopang hampir tiga perempat pembangkit listrik tenaga air dan 44 persen pembangkit listrik tenaga batu bara di 16 negara, termasuk Afghanistan, Nepal, dan Asia Tenggara.
Kapasitas listrik sebesar 865 gigawatt (GW) di sepanjang 10 sungai dianggap rentan terhadap risiko iklim, yang sebagian besar bergantung pada air. Lebih dari 300 GW - cukup untuk menggerakkan Jepang - terletak di daerah yang menghadapi risiko air "tinggi" atau "sangat tinggi", tambah para peneliti.
Cekungan Sungai Yangtze di China, yang menyokong sekitar sepertiga dari populasi negara itu dan sekitar 15 persen dari kapasitas listriknya, mengalami rekor kekeringan panjang tahun lalu. Anjloknya tenaga air dari sungai tersebut yang digunakan untuk pembangkit listrik tenaga Air (PLTA) turut mengganggu rantai pasokan global.
Sejak kekeringan, pemerintah menyetujui belasan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) baru untuk mengatasi gangguan PLTA di masa depan. Namun, pembangkit tersebut juga membutuhkan air dan lonjakan kapasitas di China dan India dapat semakin memperparah kekurangan.
Saat risiko iklim meningkat, negara-negara tersebut berada di bawah tekanan untuk menyusun kebijakan yang memastikan "kesesuaian" keamanan energi dan air, catat para peneliti.