Contoh lain: Seseorang mewakafkan ladang perkebunan nanas untuk dhuafa. Ladang perkebunan tersebut dipelihara oleh orang yang ahli dalam pekerjaannya. Dari perkebunan nanas tersebut ternyata menghasilkan buah nanas yang bisa dimanfaatkan oleh dhuafa atau ketika dijual mampu menghasilkan keuntungan. Keuntungan tersebut kemudian diputar kembali dan dimanfaatkan untuk program pemberdayaan dhuafa.
Selama ladang tersebut ada, terus menghasilkan panen dan memberikan manfaat kepada dhuafa, maka orang yang mewakafkan akan mendapat pahala kebaikannya juga sampai akhir.
Karena nilai pokok wakaf tidak boleh hilang dan tidak boleh dijual, maka aset atau harta wakaf akan terus ada sampai selama-lamanya. Bahkan ia bisa berkembang dan memberikan keuntungan berkali lipat dari awalnya.
Tentu manfaat lebih besar juga akan didapatkan oleh mauquf alaih (orang yang menerima manfaat wakaf). Untuk itu dibutuhkan orang yang ahli untuk bisa merawat dan memastikan aset tersebut akan terus ada.
Untuk itu, para ulama menyebut bahwa wakaf termasuk amal jariah. Siapapun yang mengamalkannya, akan mendapat pahala abadi hingga kelak di akhirat nanti.
Wakaf Aset Produktif
Dalam melakukan amalan wakaf, para ulama banyak memberikan rekomendasi agar kita mengamalkan wakaf produktif. Wakaf produktif adalah sebuah skema pengelolaan dana yang mampu menghasilkan surplus. Hal ini membuat harta wakaf tidak akan berkurang, malah akan terus bertambah. Hasilnya akan jadi lebih banyak manfaat lagi yang bisa digunakan untuk kepentingan ummat. Wakaf produktif bisa dilakukan dengan wakaf uang atau wakaf melalui uang.
Surplus atau keuntungan wakaf produktif ini menjadi sumber dana abadi bagi ummat seperti layanan kesehatan, pendidikan yang berkualitas, syiar atau dakwah Islam, dsb. Hal ini sudah dilakukan oleh negara-negara seperti di Turki yang menjadikan wakaf produktifnya menjadi manfaat untuk negerinya.