Sedangkan Newman menyebutkan jika sifat chatbot yang mirip manusia menyebabkan pengguna sangat rentan mengalami manipulasi.
"Jika Anda berbicara dengan sesuatu yang menggunakan kata ganti orang pertama, dan berbicara tentang perasaan dan latar belakangnya sendiri, meskipun itu tidak nyata, itu masih lebih mungkin untuk mendapatkan semacam respons manusia yang membuat orang lebih rentan untuk mempercayainya," lanjutnya. "Hal ini membuat orang ingin mempercayainya dan memperlakukannya lebih seperti teman daripada alat."
Sebuah kekhawatiran yang sudah lama ada menyebutkan adanya otomatisasi digital sebagai penyebab hilangnya banyak pekerjaan manusia. Hasil penelitian bervariasi, dari beberapa studi menyimpulkan jika AI mampu menggantikan 85 juta pekerjaan di seluruh dunia pada tahun 2025 bahkan lebih dari 300 juta pekerjaan pada jangka panjang.
Adapun industri yang terdampak oleh AI sangat luas, meliputi penulis skenario hingga ilmuwan data. Selain itu, AI juga berhasil lulus ujian pengacara dengan nilai yang sama layaknya pengacara sungguhan serta menjawab pertanyaan kesehatan lebih baik daripada dokter sungguhan.
Kini, para ahli membunyikan alarm terkait hilangnya pekerjaan secara massal sekaligus ketidakstabilan politik yang terjadi seiring meningkatnya kecerdasan buatan. Meskipun demikian, Wang memperingatkan terjadinya PHK massal dalam waktu dekat, dimana "sejumlah pekerjaan terancam" serta tidak ada rencana tentang penanganannya.
"Tidak ada kerangka kerja di Amerika tentang bagaimana cara bertahan hidup ketika Anda tidak memiliki pekerjaan," katanya. "Hal ini akan menyebabkan banyak gangguan dan banyak keresahan politik. Bagi saya, itu adalah konsekuensi yang paling konkret dan realistis yang muncul dari hal ini."
Terlepas dari meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak negatif dari teknologi dan media sosial, ternyata hanya sedikit yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam mengaturnya. Padahal, para ahli khawatir apabila kecerdasan buatan juga mengalami hal yang sama.
"Salah satu alasan mengapa banyak dari kita yang memiliki kekhawatiran tentang peluncuran AI adalah karena selama 40 tahun terakhir sebagai masyarakat, kita pada dasarnya telah menyerah untuk benar-benar mengatur teknologi," ucap Wang.
Kendati demikian, sejumlah upaya positif sudah dilakukan oleh para legislator dalam beberapa bulan terakhir, melalui Kongres saat memanggil CEO Open AI, Sam Altman, sebagai saksi mengenai perlindungan yang harus diterapkan. Sementara itu, menurut Finlay, ia merasa "berbesar hati" terhadap langkah tersebut, meski masih banyak yang perlu diselesaikan agar teknologi AI dapat digunakan secara luas dan dirilis.
"Sama sulitnya dengan memprediksi skenario kiamat, sulit juga untuk memprediksi kapasitas respon legislatif dan regulasi," ujarnya. "Kami membutuhkan pengawasan yang nyata untuk tingkat teknologi ini."
Walau bahaya AI memang paling banyak dipikirkan kebanyakan orang di industri kecerdasan buatan, namun tidak semua ahli di bidang ini menjadi "peramal kiamat". Justru kebanyakan dari mereka sangat antusias terhadap aplikasi potensial dari teknologi ini.
"Saya benar-benar berpikir bahwa generasi teknologi AI yang baru saja kita temui ini benar-benar dapat membuka banyak potensi bagi umat manusia untuk berkembang dalam skala yang jauh lebih baik daripada yang telah kita lihat selama 100 tahun atau 200 tahun terakhir," cetus Wang. "Saya sebenarnya sangat, sangat optimis dengan dampak positifnya. Namun, pada saat yang sama saya juga melihat apa yang telah dilakukan media sosial terhadap masyarakat dan budaya, dan saya sangat menyadari bahwa ada banyak potensi kerugiannya."
(DKH)