sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Studi di Jelang Khawatir dengan Perkembangan AI yang Memicu Perdebatan

Technology editor Dian Kusumo
11/04/2023 17:05 WIB
Seorang ahli saraf sekaligus asisten profesor di Universitas Osaka, Jepang, Yu Takagi tampak tidak bisa meyakini apa yang dilihatnya.
Studi di Jelang Khawatir dengan Perkembangan AI yang Memicu Perdebatan. (Foto: MNC Media)
Studi di Jelang Khawatir dengan Perkembangan AI yang Memicu Perdebatan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Seorang ahli saraf sekaligus asisten profesor di Universitas Osaka, Jepang, Yu Takagi tampak tidak bisa meyakini apa yang dilihatnya. 

Sembari duduk menyendiri di mejanya pada Sabtu sore bulan September, ia pun mengamati dengan takjub betapa canggihnya kecerdasan buatan mampu menerjemahkan aktivitas otak subjek guna menciptakan gambar yang sesuai dengan apa yang ia lihat di layar.

Dilansir dari Al Jazeera, menurutnya "Saya masih ingat ketika saya melihat gambar pertama [yang dihasilkan oleh AI]." Lalu ia menambahkan "Saya pergi ke kamar mandi dan melihat diri saya di cermin dan melihat wajah saya, dan berpikir, 'Oke, itu normal. Mungkin saya tidak menjadi gila'".

Alhasil, Takagi bersama dengan timnya memanfaatkan Stable Diffusion (SD), suatu model AI deep learning yang dikembangkan di Jerman pada tahun lalu, untuk menganalisis pemindaian otak dari subjek uji coba hingga 10.000 gambar saat berada di dalam mesin MRI.

Usai Takagi beserta rekan peneliti Shinji Nishimoto merancang model sederhana guna “menerjemahkan” aktivitas otak ke dalam format untuk dibaca, maka model AI tersebut dapat menghasilkan gambar yang sangat akurat dan menyerupai gambar aslinya.

Meski tidak diperlihatkan sejumlah gambar sebelumnya, tetapi AI mampu melakukan hal tersebut walau tidak dilatih dengan cara apa pun untuk membuat hasilnya.

"Kami benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan hasil seperti ini," ujar Takagi.
Tidak hanya itu, ia pun menegaskan bahwa terobosan ini bukan berarti AI bisa membaca pikiran, melainkan hanya dapat menghasilkan gambar yang sudah dilihat oleh seseorang.
"Ini bukan membaca pikiran," tegasnya. 

"Sayangnya, ada banyak kesalahpahaman tentang penelitian kami. Kami tidak bisa memecahkan kode imajinasi atau mimpi; kami pikir ini terlalu optimis. Namun, tentu saja, ada potensi di masa depan," lanjutnya.

Dari sumber yang sama, kendati demikian, perkembangan tersebut menimbulkan kekhawatiran terkait bagaimana penggunaan teknologi tersebut di masa depan mengingat adanya perdebatan yang lebih luas tentang risiko terhadap AI secara umum.

Terlepas dari rasa antusiasnya, Takagi pun mengaku kekhawatiran seputar teknologi pembaca pikiran itu bukan tanpa alasan, apalagi dengan adanya kemungkinan penyalahgunaan oleh beberapa pihak yang berniat jahat atau tanpa persetujuan.

"Bagi kami, masalah privasi adalah hal yang paling penting. Jika pemerintah atau institusi dapat membaca pikiran orang, ini adalah masalah yang sangat sensitif," ungkap Takagi. "Perlu ada diskusi tingkat tinggi untuk memastikan hal ini tidak terjadi," jelasnya.

Hasil dari penelitian yang dilakukan Takagi dan Nishimoto ini membuat heboh komunitas teknologi, dimana mereka telah digemparkan oleh kemajuan pesat dalam bidang AI, diantaranya adalah peluncuran ChatGPT, sebuah aplikasi yang dapat menghasilkan suara menyerupai suara manusia sebagai respons dari permintaan pengguna.

Walaupun begitu, mereka tetap berhati-hati agar temuan mereka tidak terbawa suasana. Dan Takagi menyatakan bahwa terdapat dua hambatan utama dalam membaca pikiran yang sebenarnya adalah teknologi pemindaian otak dan AI itu sendiri.

Masih dari sumber yang sama, berdasarkan penelitian Takagi dan Nishimoto, subjek diminta untuk duduk di dalam pemindai fMRI hingga 40 jam, sehingga menghabiskan banyak biaya dan waktu.

Lalu, kendala AI saat ini merupakan hambatan kedua, meski Takagi menyadari bahwa kemampuan tersebut semakin maju dari hari ke hari.

"Saya optimis dengan AI, namun saya tidak optimis dengan teknologi otak," tutur Takagi. "Saya pikir ini adalah konsensus di antara para ilmuwan saraf," lanjutnya.

Kerangkanya Takagi dan Nishimoto bisa digunakan dengan perangkat pemindaian otak selain MRI, semisal EEG atau teknologi hiper-invasif seperti implan otak-komputer yang tengah dikembangkan oleh Neuralink milik Elon Musk.

Bahkan, Takagi percaya saat ini masih sedikit aplikasi praktis untuk eksperimen AI-nya. Namun ia memperkirakan bahwa teknologi tersebut dapat digunakan untuk tujuan klinis, komunikasi, atau bahkan hiburan di masa depan.

Lalu, melalui sumber yang sama, dalam wawancaranya dengan seorang profesor ilmu saraf komputasi di University College London dan peneliti di Alan Turing Institute, Ricardo Silva mengungkapkan "Sulit untuk memprediksi aplikasi klinis yang sukses pada tahap ini, karena ini masih merupakan penelitian yang sangat eksploratif."

"Ini mungkin menjadi salah satu cara tambahan untuk mengembangkan penanda untuk deteksi Alzheimer dan evaluasi perkembangan dengan menilai dengan cara apa seseorang dapat menemukan anomali yang terus-menerus dalam gambar tugas navigasi visual yang direkonstruksi dari aktivitas otak pasien," tambahnya.

Selain itu, ia juga turut prihatin dengan etika teknologi yang suatu hari nanti dapat digunakan untuk membaca pikiran.

"Masalah yang paling mendesak adalah sejauh mana pengumpul data harus dipaksa untuk mengungkapkan secara rinci penggunaan data yang dikumpulkan," sebutnya.

"Mendaftar sebagai cara untuk mengambil potret diri Anda yang lebih muda untuk, mungkin, penggunaan klinis di masa depan adalah satu hal... Hal yang sama sekali berbeda jika data tersebut digunakan untuk tugas-tugas sekunder seperti pemasaran, atau lebih buruk lagi, digunakan dalam kasus-kasus hukum untuk melawan kepentingan seseorang," jelasnya.

Bagaimanapun, Takagi dan rekannya tidak berniat untuk memperlambat pengembangan penelitian mereka. 

Rencananya, mereka sudah mempersiapkan versi kedua dari proyek mereka, dimana fokusnya adalah untuk meningkatkan teknologi dan mengaplikasikannya pada modalitas lain.

"Kami sekarang sedang mengembangkan teknik rekonstruksi [gambar] yang jauh lebih baik," ucap Takagi. 

"Dan itu terjadi dengan sangat cepat," lanjutnya.

(DKH)

Halaman : 1 2 3 4 5 6
Advertisement
Advertisement