IDXChannel - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan kredit macet atau non performing loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jawa Barat sangat tinggi.
Diketahui, per Desember 2022, NPL kredit BPR pada angka 9,24% atau melebihi batas merah sebesar 5%.
Menurut Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 2 Jabar, Misran Pasaribu, tingginya NPL BPR di Jabar ini dipengaruhi faktor ekonomi dan persoalan internal.
"Masalah internal di antaranya soal kompetensi SDM yang perlu ditingkatkan dibanding bank umum," jelas dia di Bandung, Rabu (15/2/2023).
Dengan SDM yang memadai, kata dia, BPR akan mampu melakukan analisis kredit dengan tepat. Sehingga, tidak menghasilkan kredit masalah.
Lebih lanjut, terangnya, keberhasilan SDM dalam menganalisa kredit seperti bank besar, akan meminimalisir risiko kredit mecet di kemudian hari.
Sementara persoalan eksternal lainnya adalah terkait cost of fun. Saat ini, suku bunga acuan masih tinggi sehingga membebani debitur BPR.
Di sisi lain, efek pandemi juga masih terjadi sehingga debitur masih bermasalah dengan bisnis mereka.
"Tapi sepanjang tahun 2022 tidak ada BPR yang ditutup. Kondisi mereka naik turun itu biasa. Memang ada BPR yang masuk pengawasan intensif. Tapi itu biasa. Sehingga kami melakukan pengawasan lebih kuat. Sebagian besar kembali ke pengawasan normal," imbuh dia.
Kepala Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jabar Indarto Budiwitono, menuturkan, non performing loan (NPL) atau kredit macet Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jawa Barat sangat mengkhawatirkan. Per Desember 2022, NPL kredit BPR pada angka 9,24% atau melebihi batas merah sebesar 5%.
"Kredit macet BPR per Desember 2022 sebesar 9,24%. Sedangkan kredit macet perbankan umum sangat baik di angka 3,6%," jelas dia.
Sementara itu, penyaluran kredit di Jawa Barat pada 2022 mencapai Rp546 triliun. Tingginya pencapaian kredit ini hampir setengahnya dipakai sektor konsumsi.
Kredit Jawa Barat naik dari 6,15% pada 2021 menjadi 8,64% dengan total Rp546 triliun pada 2022. Pertumbuhan kredit tersebut sudah hampir mendekati seperti sebelum pandemi.
"Penyaluran terbesar untuk konsumsi yaitu hampir sebesar 49% dari total kredit Rp546 triliun. Sedangkan sektor penyaluran kedua untuk modal kerja sebesar 37% dan investasi 14%," jelas Indarto.
(YNA)