P: Apakah itu sudah cukup banyak diterapkan di Indonesia?
H: Kita beruntung sekali, hasil riset terbaru kami berusaha menggali selama dua bulan ini, ternyata 80 persen family business di Indonesia sudah berpikiran maju sekali dibandingkan negara-negara kita.
P: Berbicara mengenai family business di Indonesia masih cukup beruntung. Value yang bisa ditanamkan di BUMN atau yang lainnya, apa family business value yang menarik?
H: Jadi ada yang bisa kita bawa ke dunia institusi yang lain, dari family business misalnya sifat opportunistic mindset bahwa family business itu very entrepreneurship di mana mereka selalu melihat dan mengejar opportunitynya.
Next adalah attitude, di family business itu attitude terhadap risiko itu mereka sangat berani ambil dan mereka memperkenankan orang gagal karena gagal adalah pelajaran yang sangat berharga dan ada risk taking threshold yang mereka siapkan.
Kalau ada keluarga yang merasa bahwa Rp10 Miliar gagal, gapapa deh. Ada yang Rp5 miliar gagal, gapapa. Tapi tidak mungkin gagal berkali-kali. Pasti sudah disiapkan.
Pada saat mereka sukses itu baru kita belajar, generasi tiga mana yang sukses, itulah calon-calon suksesor. Hebatnya family business, pada saat dia mengetes attitude to risk dan failure, mereka malah menjaring suksesor. Siapa yang sukses itu adalah calon pemimpin dari generasi ketiga atau keempat.
P: Tapi itu apakah bisa diadopsi di sebuah institusi?
H: There’s the reason kita harus punya juklak mungkin di satu institusi, mengatakan bahwa setelah adanya check point a,b,c,d,e,f ternyata gagal, gapapa lakukan lagi kerjaan lain, kalau tidak institusi itu gak akan pernah maju, kalau dia gak pernah berani mencoba.