Mafia tanah adalah kelompok kejahatan yang bekerja secara terstruktur, sebab melibatkan banyak pihak dari tingkatan kewenangan dengan pembagian tugas secara sistematis. Kelompok mafia tanah bisa melibatkan oknum dari lembaga pemerintahan itu sendiri.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika membagi kejatan mafia tanah berdasarkan dampaknya menjadi dua kategori, yakni kelas teri dan kelas kakap. Kasus mafia tanah kelas teri dapat dilihat dari enam indikasi:
- Pelaku utama membuat grand design, terdiri dari pengusaha dan petinggi pemerintah
- Pelaku di lapangan melibatkan oknum advokat dan preman, pemuka agama, pemda, pemerintah desa, polisi/TNI, dan preman
- Pelaku di ranah administrasi pertanahan (PPAT), pejabat di kantor pertanahan
- Pelaku di ranah penerbitan hak atas tanah di kalangan pejabat kementerian
- Pelaku di ranah peradilan
Semua pelaku di atas bekerja sama untuk mendapatkan tanah secara ilegal, melalui prosedur hukum yang cacat, namun didukung oleh orang-orang yang memegang kewenangan di tiap lembaga yang berkaitan dengan proses peradilan.
Sementara Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Humum UGM Prof Nursahan Ismail menyebutkan kelompok mafia tanah terbagi dalam tiga tingkat. Kelompok sponsor yang menyandang dana, kelompok garda depan (warga, preman), dan kelompok profesi (pejabat, PPAT, pemerintah daerah/desa, dll).
Korban dari praktik mafia tanah ini bisa siapa saja, masyarakat umum hingga pejabat dan lembaga negara itu sendiri. Metodenya bisa dilakukan secara keras-ilegal, yang langsung merebut dan menduduki tanah yang diincar.