“Kalau disuplai dari sini (pabrik gula di Jatim), biaya atau ongkosnya lebih murah. Kalau dari daerah lain ada tambahan biaya transportasi. Kasihan para pelaku UMKM dan industri mamin. Kami ingin perekonomian Jatim lebih kondusif,” tegas Subianto.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim, Drajat Irawan, mengungkapkan, penentuan kuota impor ditentukan dalam Rapimtas di Kementerian Lembaga dan sama sekali tidak melibatkan pemerintah provinsi, walaupun dalam sebuah kesempatan yang lain, Gubernur Jatim bersama Disperindag Jatim sempat dipanggil untuk membahas keberadaan gula rafinasi.
Padahal Jatim adalah pengguna rafinasi terbesar kedua setelah Jawa Barat dengan rata-rata kebutuhan sebesar 27.000 ton per bulan atau sebesar 324.000 ton per tahun.
“Variabel jelas, yang dapat izin impor hanya 11 perusahaan di luar Jatim. Sehingga harus ada biaya transportasi. Kedua KTM telah membangun PG dengan teknologi yang tidak bisa ditransformasikan. Sehingga ketika kebutuhan gula rafinasi disuplai dari sini (KTM), maka akan ada efisiensi. Tetapi di sisi lain Permenperin itu juga ada semangat lumbung pangan. Ini yang harus dipikirkan juga,” ujar Drajat.
Pada kesempatan tersebut, Direktur KTM, Agus Susanto, menyatakan komitmennya untuk membantu pemerintah menyukseskan swasembada gula nasional. Salah satunya melalui kebijakan beli putus dan jaminan rendemen minimal 7% kepada petani tebu yang menjadi mitra KTM.