Untuk BUMN yang terdampak pada bahan baku impor dan BUMN dengan porsi utang luar negeri (dalam USD) yang besar seperti Pertamina, PLN, BUMN Farmasi, MIND ID, agar mengoptimalkan pembelian USD dalam jumlah besar dalam waktu singkat.
"Serta melakukan kajian sensitivitas terhadap pembayaran pokok dan atau bunga utang dalam dolar yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat," ujar Erick.
Selain itu, sambung Erick, BUMN yang berorientasi pasar ekspor seperti Pertambangan MIND ID, perkebunan PTPN bisa memanfaatkan tren kenaikan harga ini untuk memitigasi tergerusnya neraca perdagangan.
Erick mengatakan BUMN yang memiliki utang luar negeri atau berencana menerbitkan instrumen dalam dolar AS agar mengkaji opsi hedging untuk meminimalisasi dampak fluktuasi kurs.
"Seluruh BUMN diharapkan dapat waspada dan awas dengan memantau situasi saat ini, mengingat kemungkinan terjadi kenaikan tingkat suku bunga dalam waktu dekat," tegasnya.
Erick menyebut potensi kenaikan suku bunga telah mendorong penguatan dolar AS terhadap rupiah dan tentunya kenaikan harga minyak WTI dan Brent yang masing-masing telah menembus USD85,7 dan USD 90,5 per barrel.
"Harga minyak ini bahkan diprediksi beberapa ekonom bisa mencapai USD100 per barel apabila konflik meluas dan melibatkan Amerika Serikat," lanjut dia.
Di sisi lain, rupiah telah melemah menjadi Rp 16.000-16.300 per USD dalam beberapa hari ke belakang. Nilai tukar ini bahkan bisa mencapai lebih dari Rp 16.500 apabila tensi geopolitik tidak menurun.
(FRI)