IDXChannel - PT Pemeringkat Kredit Indonesia (PKRI) telah memperoleh izin dari OJK untuk resmi beroperasi sebagai Perusahaan Pemeringkat Efek (PPE).
Perusahaan credit rating agency terbaru di Indonesia ini bertekad untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk turut meningkatkan kualitas dan kredibilitas industri pemeringkatan di tanah air.
Dalam siaran pers yang diterima, adanya PPE baru diharapkan akan menambah kompetensi industri PPE di Indonesia. PKRI hadir didukung dengan tim yang memiliki pengalaman panjang di pasar modal dan surat utang di Indonesia.
Direktur Utama PKRI, Eddy Handali, mengatakan PKRI akan memberikan penyegaran perspektif dalam menimbang resiko dalam mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangannya.
"PKRI sebagai lembaga independen menjanjikan penilaian yang objektif dan transparan," katanya Jumat (18/3/2022).
Pendirian perusahaan dilandasi oleh optimisme PKRI terhadap perkembangan pasar surat utang di Indonesia. PKRI meyakini pertumbuhan akan didukung oleh kedua sisi supply dan demand.
Dari sisi demand, pertumbuhan investor diharapkan akan meningkatkan daya serap dan likuiditas di pasar surat utang Indonesia. Sisi demand ini akan didorong oleh meningkatnya dana investasi baik dari asset
management, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan perusahaan pengelola aset lainnya serta juga meningkatnya pemahaman masyarakat atas alternatif instrumen investasi di samping deposito berjangka.
Sementara dari sisi supply, banyak perusahaan dengan positioning yang kuat membutuhkan pendanaan untuk terus bertumbuh. Eddy juga menilai telah terjadi pergeseran cara pengelolaan perusahaan di mana semakin banyak perusahaan di tanah air dikelola secara lebih professional dengan
tata kelola yang bertambah baik. Karenanya PKRI akan menyasar perusahaan-perusahaan dengan manajemen yang baik yang memiliki ceruk pasar yang solid.
Saat ini, dibandingkan dengan pendanaan dari bank, sumbangsih pasar surat utang sebagai alternatif sumber pembiayaan masih jauh lebih rendah.
Penerbitan surat utang di 2021 yang berkisar di Rp100 triliun oleh kurang dari 60 perusahaan dianggap sangat rendah dibandingkan dengan PDB Indonesia
yang mencapai lebih dari USD1.000 triliun.