sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Defisit APBN Mengerucut, Analis: Jangan Terlalu Optimis Dulu

Economics editor Advenia Elisabeth/MPI
22/12/2021 13:40 WIB
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp611 triliun hingga akhir November di tahun ini.
Defisit APBN Mengerucut, Analis: Jangan Terlalu Optimis Dulu. (Foto: MNC Media)
Defisit APBN Mengerucut, Analis: Jangan Terlalu Optimis Dulu. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp611 triliun hingga akhir November di tahun ini. Kendati demikian, Ekonom justru meminta pemerintah agar tidak terlampau optimis.

"Jangan terlalu optimis dulu melihat pencapaian APBN sampai 31 Oktober 2021, meskipun terjadi pertumbuhan penerimaan negara tapi faktornya adalah low base effect. Itu wajar karena ekonomi mulai dibuka kembali dan ada normalisasi permintaan ekspor dari mitra dagang utama," kata Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada MNC Portal, Rabu (22/12/2021).

Lanjut Bhima mengatakan, dibandingkan akhir Oktober 2019, sebenarnya realisasi penerimaan pajak masih lebih rendah saat ini. Per Oktober 2019, realisasi penerimaan perpajakan Rp 1.173 triliun, sementara saat ini Rp 1.159 triliun. 

"Artinya ekonomi belum bisa kembali seperti pra-pandemi. Butuh waktu untuk full recover, dan ini yang perlu diperhatikan pemerintah sehingga jangan lengah," tutur dia.

Menurut Bhima, meski kenaikan harga komoditas  seperti kelapa sawit dan batubara naik, namun di dalam negeri perlu waspada efek ke inflasi dan belanja subsidi energi yang juga merangkak naik. 

"Kenapa pemerintah harus waspada? Kenaikan harga komoditas memang masih untungkan posisi Indonesia saat ini, ada PNBP dari sawit dan batubara yang naik. Tapi hati-hati efek ke inflasi dan belanja subsidi energi dalam negeri yang bisa merangkak naik," jelasnya.

Kemudian pemerintah juga menghadapi tekanan pembiayaan utang, artinya beban bunga masih jadi ancaman fiskal. 

Seperti Oktober 2019 lalu, Bhima bilang, penerimaan pajak lebih besar dan pembiayaan utangnya Rp 384,5 triliun. Dibanding saat ini pajaknya lebih rendah dan utangnya bertambah Rp 608,2 triliun hampir naik dua kali lipat beban utang barunya.

"Tahun 2022, volatilitas nilai tukar dan kenaikan suku bunga akan membuat porsi pembayaran bunga utang terhadap penerimaan pajak makin lebar," tukasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengumumkan, posisi belanja negara hingga akhir November 2021 tercatat pada Rp 2.310,4 triliun atau 84% dari pagu, tumbuh 0,1% year-on-year (yoy). 

Capaian ini terdiri atas belanja Kementerian/Lembaga (K/L) Rp 937,3 triliun, belanja non-K/L Rp 662 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 711 triliun. Sedangkan realisasi belanja barang K/L tumbuh 24,4% atau mencapai Rp 408,9 triliun yang manfaatnya dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Menkeu melanjutkan, kenaikan belanja barang juga diakibatkan belanja yang diberikan kepada masyarakat secara langsung dalam bentuk bantuan pemerintah untuk UMKM, pengadaan vaksin, subsidi kuota, dan subsidi upah pekerja. 

"Jika dilihat dari dominasi K/L terhadap belanja, Kementerian Kesehatan berada di posisi pertama, disusul Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan BLU Kelapa Sawit di Kementerian Keuangan," terang Sri Mulyani. (TYO)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement