Di Indonesia, menurut Faisol, keterlacakan produk kelapa sawit masih sulit dicapai, terutama untuk produsen yang tidak memiliki cukup modal, misalnya saja petani kecil dan swadaya. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan sertifikasi keberlanjutan untuk komoditas yang dihasilkan.
Di sisi lain, dia juga menilai keharusan untuk menjamin keterlacakan hingga ke tingkat petani swadaya menimbulkan biaya yang besar, yang dapat mendorong pembeli dari Uni Eropa untuk hanya melakukan transaksi dengan perkebunan besar dan petani plasma, dan menghindari petani swadaya.
Sementara petani kecil memiliki atau mengoperasikan hampir separuh lahan budidaya kelapa sawit di seluruh nusantara juga memainkan peran yang sangat penting dalam transformasi industri melalui sertifikasi.
“Petani swadaya yang saat ini memproduksi 34,62% produk kelapa sawit di Indonesia seharusnya lebih banyak didukung dalam upaya menuju pertanian berkelanjutan, bukan sebaliknya. Kebijakan ini justru berpeluang menghambat ekspor minyak sawit yang mereka hasilkan," tegasnya.
(SLF)