Justru, dengan tetap dipaksakannya penerapan skema power wheeling, dikhawatirkan justru bakal menambah beban fiskal negara karena Indonesia sudah oversupply listrik.
"Jika dihitung, untuk kelebihan listrik 1 Gigawatt (GW) saja, biaya yang harus dikeluarkan tax payers melalui kompensasi atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp3 triliun per GW," ujar Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Kamis (28/9/2023).
Tidak hanya itu, menurut Abra, risiko tambahan beban terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling, yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.
Sebagai dampaknya, dikhawatirkan bakal muncul tambahan cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem.
"Sehingga setiap masuknya 1 GW pembangkit power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 trilin (biaya Take or Pay + backup cost) yang tentu akan membebani keuangan negara," keluh Abra.
Artinya, jika diasumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6 hingga 7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48 GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp165-192 triliun.
Abra menjelaskan, bahwa tanpa adanya pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT, sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dalam RUPLT tersebut, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
"Dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6%," tegas tegas Abra. (TSA)