"Direksi BUMN adalah pejabat bisnis, bukan pejabat politik. Jadi, politisasi BUMN ini sudah terbukti jelek. Membiasakan mereka rapat di DPR RI, membuat mereka bermental politik. Inilah akar dari rusaknya professionalisme di BUMN. Mereka dipaksa melayani kepentingan politik eksekutif dan legislatif. Budaya korporasi rusak!," tukas Fahri.
Bahkan, ia sendiro menulis buku tentang BUMN dan dibagikan gratis oleh Partai Gelora Indonesia. Yang inti dari permasalahan BUMN adalah, adanya dilema antara 'dikuasai negara' dan 'untuk kesejahteraan rakyat'.
"Salah satunya ya rapat di DPR RI itu. Dengan motif dikuasai, tapi negara sedang merusak kultur bisnis di BUMN," ujarnya.
Fahri pun melihat, ada kesalahan di hulu persoalan, karena Undang-Undang (UU) yang ambigu dan membiarkan kontradiksi di UU tentang BUMN dan UU tentang Perseroan Terbatas (PT), juga UU tentang Keuangan Negara. Harusnya diperjelas bahwa pengelolaan BUMN tunduk ke dalam rezim korporasi dan pertanggungjawaban pemegang saham di Kemen BUMN.
"Jadi, tidak fair membedah BUMN di depan umum oleh politisi sementara mereka punya pesaing yang selalu mengintip dapur mereka. Sementara itu, tidak jelas juga yang dibahas. Beda dengan rapat penyelidikan angket misalnya. Itu bebas. Jangankan BUMN, Presiden aja bisa dipanggil," pungkas politisi asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini. (TYO)