IDXChannel - Kementerian BUMN menyatakan, tidak menutup kemungkinan akan menggunakan mata uang asing lain untuk mencari sumber pendanaan atau utang. Rencana ini menyusul dampak kenaikan suku bunga The Fed yang membuat dolar Amerika Serikat (USD) semakin perkasa terhadap mata uang lain, termasuk rupiah.
Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo atau yang akrab disapa Tiko menyebut, pihaknya telah mempertimbangkan BUMN akan menggunakan mata uang asing, selain dolar AS. Sekadar informasi, Rupiah saat ini berada di level di atas Rp15.200.
"Ini memang jadi pemikiran buat kita untuk mencari pendanaan dari currency lain karena Yen maupun Euro dan GBP (Poundsterling) memang melemah," ungkap Tiko dalam konferensi pers di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, dikutip Kamis (29/9/2022).
Tiko tidak mengelak bahwa naiknya dolar AS dan agresifnya kebijakan The Fed menjadi pekerjaan rumah (PR) buat pemerintah, khusus Kementerian BUMN.
"Tentunya ini jadi PR kita bersama dan di asset management bank kita sedang me-review untuk melakukan juga beberapa konversi untuk mengurangi exposure terhadap USD-IDR," kata dia.
Karena itu, pilihan menggunakan mata uang asing di luar dolar AS bisa saja dilakukan BUMN. Terutama dalam menerbitkan obligasi dengan denominasi non dolar, seperti Yen, Euro, dan Poundsterling. Menurutnya, Rupiah masih menguat terhadap ketiga mata uang tersebut.
"Kalau enggak di dolar ada opsi di Yen, samurai bond, terus di Euro atau bahkan beberapa mungkin di China. Dulu sempat buka ada dimsum bond dan sebagainya dan ini sedang kita kaji," tuturnya.
Kementerian BUMN tidak mengelak kenaikan dolar AS terhadap nilai tukar Rupiah akan berdampak pada tingkat produksi perusahaan pelat merah. Adapun BUMN yang dimaksud adalah PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero).
Wakil Menteri BUMN I, Pahala Nugraha Mansury mencatat pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS memang berpotensi berdampak pada kinerja PLN dan Pertamina.
"Terkait mengenai hedging, memang dua BUMN yang memiliki posisi yang kalau terjadi depresiasi itu menyebabkan adanya potensi effect losses adalah Pertamina dan juga PLN, sebagai dua BUMN yang memang memiliki posisi kewajiban dalam dolar AS memang cukup tinggi," tandas Pahala.
(FAY)