IDXChannel - Mantan Menteri Keuangan RI Muhammad Chatib Basri menyebutkan bahwa di tahun 2022 ini, ekonomi Indonesia masih cenderung kuat dan tidak sampai mengalami resesi. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu diantisipasi, mengingat tahun depan akan membawa tantangan yang lebih berat.
Chatib ungkap inflasi di Jerman dan Amerika Serikat (AS) memaksa Bank Sentral setempat menaikkan suku bunga. Selain itu, kontraksi ekonomi di AS dan Eropa akan berdampak pada penurunan permintaan ekspor global termasuk China.
"Ekspor Indonesia akan menurun. Situasi akan diperburuk dengan menurunnya harga komoditas, yang selama ini “menyelamatkan” RI," ujar Chatib melalui akun Twitternya @ChatibBasri dikutip di Jakarta, Rabu(12/10/2022).
Dari jalur perdagangan, resesi global, khususnya perlambatan ekonomi China, akan menurunkan ekspor Indonesia. Namun disisi lain, tensi geopolitik akibat perang Russia-Ukraina akan membuat harga batu bara relatif tinggi.
"Seberapa besar ekspor kita akan terpukul? Tergantung dari net effect (efek bersih) penurunan ekspor akibat resesi global dengan kenaikan harga batu bara akibat perang Russia. Saya kira dampak resesi global terhadap Indonesia tak akan seburuk dampaknya pada Singapura, atau negara yang berorientasi ekspor. Mengapa? Porsi ekspor Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) relatif kecil dibanding negara-negara yang berorientasi ekspor. Kita diuntungkan oleh kurang terintegrasinya kita pada ekonomi global, sesuatu yang sebetulnya tak kita inginkan," ungkap Chatib.
Dia menilai, menghadapi situasi demikian harus adil, integrasi yang terbatas pada ekonomi global membuat Indonesia juga nantinya akan pulih lebih lambat, ketika ekonomi global pulih. Dari jalur keuangan tampaknya dolar AS masih akan terus menguat karena pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih baik terhadap Eropa, terms of trade AS yang menguat dan dampak kenaikan bunga di AS yang lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Dalam kondisi seperti ini pilihan kebijakan Bank Indonesia(BI) tak banyak, yaitu pertama menaikkan bunga inflasi serta menjaga kestabilan Rupiah dan melakukan intervensi di pasar valuta untuk mencegah volatilitas rupiah. Dampak dari Taper Tantrum 2.0 kali ini tak seberat 2013 karena share asing asing dalam obligasi pemerintah Indonesia menurun dari 32% di April 2020 menjadi 14,6% September 2022. Ketergantungan terhadap pembiayaan eksternal yang relatif lebih rendah saat ini, membuat Indonesia relatif stabil.
Selain itu, neraca transaksi berjalan juga mengalami surplus. Surplus terjadi karena COVID-19 telah mengakibatkan meningkatnya rasio tabungan/PDB, dan menurunnya konsumsi akibat pembatasan mobilitas. Penjelasan lainnya, kenaikan harga ekspor komoditas dan energi namun ketika aktivitas ekonomi kembali normal, rasio tabungan/PDB akan menurun, defisit transaksi berjalan naik.
"Selain itu, resesi global, akan menurunkan harga komoditas dan energi (di luar batu bara), surplus neraca perdagangan akan menurun. Hal ini, berpengaruh kepada nilai tukar," ucap Chatib.
Pelemahan Rupiah, sebut dia, akan membuat beban utang dalam mata uang dolar AS akan meningkat. Selain itu, ada resiko ketaksesuaian mata uang (currency mismatch), jika sebagian besar investasi asing masuk ke sektor dalam negeri, bukan sektor yang berorientasi ekspor. Pandemi COVID-19 membuat aktivitas ekonomi terganggu. Dengan relaksasi restrukturisasi kredit, NPL terlihat rendah. Namun Loan at Risk (LaR) masih relatif tinggi. Jika relaksasi ini berakhir, ada resiko NPL akan meningkat. Bunga tinggi juga meningkatkan resiko perusahaan dengan utang tinggi.
"Apa yang bisa dilakukan? Pertumbuhan ekonomi melambat dan surplus transaksi berjalan Indonesia tahun depan menurun. Untuk menjaga internal dan external balance dibutuhkan ekspansi ekspansi fiskal dan pengetatan moneter. Masalahnya, kenyataan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia tak semudah preskripsi itu," tegas Chatib.
Dia menyebut, preskripsi Dornbusch dan Swan sulit dilakukan, karena pada tahun 2023, defisit fiskal akan dijaga dibawah tiga persen. Selain itu, penurunan harga komoditas dan energi (diluar batu bara) akan membuat penerimaan negara tahun 2023 tak akan setinggi tahun 2022.
"Kombinasi ini akan membuat fiskal menjadi kontraktif pada tahun 2023. Disisi lain, tekanan inflasi yang terjadi dan kenaikan bunga the Fed akan memaksa Bank Indonesia untuk menaikkan bunga. Bisa dibayangkan dampak kontraksi yang akan terjadi," tambahnya.
Dia mengatakan, BI dan pemerintah harus menerapkan policy mix. Pengetatan moneter dilakukan, tapi tidak berlebihan, pelemahan rupiah terjadi, tapi dijaga agar tak terlalu tajam fluktuasinya. Dari sisi fiskal, dengan defisit dibawah 3% tahun 2023, maka alokasi belanja harus semakin tajam. Program perlindungan sosial menjadi prioritas, selain itu belanja harus diarahkan kepada sektor yang memiliki dampak multiplier yang tinggi.