IDXChannel - Bank Indonesia (BI) melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia pada Juni 2024 turun menjadi 123,3 dari level sebelumnya 125,2 pada Mei 2024.
Ini merupakan angka terendah sejak Februari 2024 di mana hampir seluruh enam sub-indeks memburuk. (Lihat grafik di bawah ini.)
Di antaranya adalah ekspektasi terhadap kondisi perekonomian negara saat ini, turun 2,5 poin ke level terendah dalam empat bulan di 112,9. Di sisi lain, prospek ekonomi, turun 1,2 ke level terendah dalam tiga bulan di 133,8.
Ada juga ekspektasi pendapatan untuk tahun depan enam bulan (turun 1,0 ke level terendah dalam lima bulan di 138,0, ketersediaan lapangan kerja (turun 2,8 poin ke level terendah dalam enam bulan di 131,7.
Masyarakat pun menilai ketersediaan lapangan kerja dibandingkan enam bulan lalu turun 6,8 poin ke level terendah setidaknya sejak Mei 2022 sebesar 106,8, sementara ekspektasi pendapatan terhadap pendapatan saat ini menguat, naik 0,8 poin menjadi 120,8.
Terjepit Deflasi
Penurunan IKK ini mencerminkan kondisi masyarakat saat ini terhadap kondisi ekonomi dalam negeri meski kondisi inflasi terbilang sudah terkendali.
Pada Juni 2024, terjadi inflasi year on year (yoy) sebesar 2,51 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,28.
Komponen inflasi bulan lalu ditopang oleh kelompok inflasi makanan, minuman dan tembakau sebesar 4,95 persen, kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 1,09 persen, kelompok kesehatan sebesar 1,89 persen, kelompok transportasi sebesar 1,61 persen; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 1,50 persen, kelompok pendidikan sebesar 1,69 persen, kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 2,31 persen, dan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 5,24 persen.
Namun demikian, ekonomi RI juga masih dihantui deflasi dua bulan beruntun. Data teranyar Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, indeks harga konsumen mengalami penurunan atau deflasi secara bulanan (month to month/mtm) pada Juni 2024.
Ini merupakan kelanjutan deflasi pada bulan sebelumnya. BPS mencatat, pada Juni 2024 terjadi deflasi sebesar 0,08 persen secara mtm. Deflasi ini lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya, yakni sebesar 0,03 persen.
"Deflasi bulan Juni 2024 ini lebih dalam dibandingkan Mei 2024, dan merupakan deflasi kedua pada tahun 2024," ujar Plt. Sekretaris Utama BPS, Imam Machdi, dalam konferensi pers, di Kantor BPS, Jakarta, Senin (1/7/2024).
Kondisi ini bisa jadi bukan pertanda baik bagi perekonomian. Melansir OCBC Nisp, secara singkat, arti deflasi adalah disinflasi atau penurunan tingkat inflasi dalam jangka waktu tertentu.
Sebenarnya deflasi adalah kondisi di mana harga barang dan jasa mengalami penurunan besar-besaran secara berjangka, langsung atau bersamaan.
Sekilas terlihat menguntungkan masyarakat sehingga orang akan berlomba-lomba untuk membeli barang sebagai persediaan nantinya.
Namun, dampak yang terjadi di sebuah negara akan dirasakan oleh pemilik usaha sebagai penyedia barang dan jasa.
Pengusaha akan dirugikan dengan kegiatan jual beli yang terus menerus dengan harga murah.
Untuk meminimalisir kerugian, para pelaku usaha akan mengurangi produksi barang, mengurangi karyawan (PHK), dan sebagainya yang akan berakibat buruk bagi perekonomian.
LPEM UI mencatat, deflasi yang dialami Indonesia sepanjang Mei di dorong oleh deflasi cukup besar pada sektor bahan makanan, sektor makanan, minuman, dan tembakau, dan sektor transportasi.
“Berbeda dengan bulan sebelumnya, sektor transportasi pada bulan Mei mengalami deflasi sebesar 0,36 persen. Sektor transportasi mencatat deflasi terbesar pada Mei dan menjadi sektor dengan penurunan terbesar (1,29 persen poin) dibanding bulan sebelumnya,” tulis LPEM UI dalam Seri Analisa Makroekonomi: Inflasi Bulanan, Juni 2024.
LPEM UI menambahkan, meskipun sektor pakaian dan alas kaki mengalami deflasi yang rendah, namun sektor ini juga mencatat penurunan terbesar dibandingkan bulan sebelumnya (0,50 persen poin).
Hal ini disebabkan oleh masuknya barang impor tekstil dan produk tekstil yang menghambat pertumbuhan sektor pakaian di dalam negeri.
Di sisi lain, inflasi tertinggi disuplai oleh sektor perawatan pribadi dan jasa lainnya (0,87 persen) serta sektor penyediaan makanan dan minuman/restoran (0,26 persen).
Sebagai tambahan, sektor perawatan pribadi juga telah mengalami inflasi dalam 10 bulan berturut turut. (ADF)