IDXChannel - Sektor logam dan mineral Indonesia masih menempati posisi stategis di tengah volatilitas ekonomi global serta dinamika yang terus berubah.
Dengan pengembangan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah, Indonesia dapat bertransformasi dari sekadar pengekspor bahan mentah menjadi pemain utama dalam rantai pasok global mineral kritikal.
Namun, ada berbagai tantangan yang harus dihadapi. Direktur PT Bank DBS Indonesia Lim Chu Chong menilai ke depan, arus modal asing berpotensi menyusut di tengah ketidakpastian global.
Dia mengatakan dunia tengah menghadapi perlambatan ekonomi di berbagai kawasan, termasuk China dan Eropa.
Pergeseran rantai pasok akibat kebijakan tarif baru AS turut menekan volume perdagangan global serta memicu koreksi pada harga komoditas energi dan non-energi.
"Kombinasi faktor ini membuat arus investasi asing langsung (FDI) merosot tajam. Tekanan tersebut muncul dari berbagai faktor, mulai dari tensi hubungan AS dan China, perang tarif, perubahan iklim, hingga perkembangan kecerdasan buatan (AI)," ujarnya dalam The 4th DBS Metal and Mining Forum, dikutip Rabu (3/12/2025).
Bagi negara berkembang, penurunan FDI menjadi tantangan besar karena menghambat upaya mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih ambisius.
Kondisi ini semakin nyata bagi Indonesia, mengingat arus investasi luar negeri dari China sebagai salah satu penyumbang terbesar juga tengah melemah.
"Situasi tersebut diperkirakan menekan ekspansi di sektor logam dan pertambangan, terutama pada industri hilirisasi nikel," ujarnya.
Tantangan kedua yaitu pergerakan harga komoditas dan logam sangat dipengaruhi fluktuasi nilai dolar AS, mengingat sebagian besar perdagangan logam menggunakan mata uang tersebut.
Risiko depresiasi dolar berpotensi mendorong kenaikan harga logam, sementara perlambatan dekarbonisasi di beberapa negara, seperti Eropa, turut memengaruhi permintaan energi bersih dan transisi ke kendaraan listrik.
Faktor-faktor ini membuat pasar logam semakin terfragmentasi dan sulit diprediksi. Kondisi ini diperburuk oleh konsentrasi pasokan mineral kritis yang terbatas pada beberapa negara. Akibatnya, harga logam tidak lagi seragam secara global, melainkan bervariasi antar-negara dan wilayah, salah satunya tembaga.
Fenomena ini menandai pergeseran dari ekonomi globalisasi murni menuju ekonomi geopolitik, di mana negara-negara semakin menggunakan kebijakan ekonomi untuk mencapai tujuan politik, dengan kecenderungan nasionalisasi, regionalisasi, dan proteksionisme yang meningkat.