Tren deflasi yang berulang secara bulanan ini tidak serta merta menunjukan adanya depresiasi daya beli masyarakat. Menurut Arief, kondisi deflasi bukan satu-satunya indikator daya beli masyarakat menurun. Terjadinya deflasi juga dapat terjadi karena pasokan yang cukup melimpah, namun permintaan masih tetap sama.
“Kita lihat misalnya pada pergerakan inflasi beras, itu sejak April mengalami deflasi sampai 2,72 persen. Lalu Mei juga deflasi 3,59 persen. Ini lebih disebabkan karena produksi pada bulan-bulan tersebut sedang tinggi-tingginya. Sementara permintaan masyarakat terhadap beras cenderung sama,” jelas Arief.
Terkait itu, menurut Kerangka Sampel Area BPS, puncak produksi beras terjadi di April 2024 sebesar 5,31 juta ton. Pada Mei 2024 proyeksi produksi beras di 3,61 juta ton dan turun pada Juni 2024 di 2,06 juta ton.
Namun, pada Juli sampai September 2024 diproyeksikan mengalami kenaikan produksi yang masing-masing ada di angka 2,18 juta ton, kemudian 2,66 juta ton dan 2,96 juta ton.
“Di Juli, beras kembali mengalami inflasi. Untuk itu, memang sudah tepat langkah pemerintah menggelontorkan kembali bantuan pangan beras mulai awal Agustus ini," jelasnya.