sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Hubungan Krisis Ekonomi-Politik Inggris, PM Liz Truss, dan Selada

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
20/10/2022 18:08 WIB
Desakan mundur PM Truss kencang bergulir setelah kebijakan pemotongan pajaknya menuai kritik yang meluas.
Hubungan Krisis Ekonomi-Politik Inggris, PM Liz Truss, dan Selada. (Foto: MNC Media)
Hubungan Krisis Ekonomi-Politik Inggris, PM Liz Truss, dan Selada. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Pemerintah Inggris berada dalam kekacauan seiring Menteri Dalam Negeri Inggris, Suella Braverman menyatakan pengunduran dirinya pada Rabu (19/20).

Menyusul guncangan politik di parlemen Inggris ini, desakan untuk meminta Truss mundur semakin meluas.

Partai Konservatif Inggris, tempatnya bernaung juga tengah menjadi sorotan akibat sejumlah kebijakan ekonomi kontroversial yang dikeluarkan PM Truss. Bahkan, rumor penggulingan Perdana Menteri yang baru saja menjabat tersebut kencang berhembus.

Namun, di bawah tekanan tanpa henti ini, Liz Truss menolak tuntutan agar dia mengundurkan diri. Dalam pernyataannya Truss mengatakan, "Saya seorang pejuang dan bukan orang yang mudah menyerah."

Dalam sesi tanya jawab parlemen, Truss juga sempat menyatakan permintaan maafnya karena mengumumkan agenda pemotongan pajak yang telah mengguncang pasar keuangan dan menyebabkan mata uang Inggris terperosok menuju kejatuhan.

Namun dia terus bersikeras di tengah kritikan keras dari anggota parlemen oposisi dan ekspresi kehilangan harapan Partai Konservatifnya sendiri.

“Saya harus mengambil keputusan karena situasi ekonomi untuk menyesuaikan kebijakan kami,” kata Truss.

Mengutip The New York Times, hal itu adalah siksaan brutal bagi Truss setelah audiensi ketiganya sebagai perdana menteri. Namun, meski menyakitkan, analis politik mengatakan kejadian itu tidak menghasilkan pukulan KO yang akan membuat penggulingannya segera terjadi.

Namun, pertanyaan sulit oleh anggota parlemen oposisi memang menghasilkan pembalikan arah dalam kebijakan pemerintah.

Diketahui, inflasi di Inggris telah meningkat 10,1% karena konsumsi rumah tangga berada di bawah tekanan dari kenaikan tahunan harga pangan paling tajam selama lebih dari 40 tahun di tengah krisis biaya hidup.

Kantor Statistik Nasional (ONS) mengatakan indeks harga konsumen naik menjadi 10,1% pada September, kembali ke level dua digit setelah sedikit turun menjadi 9,9% pada Agustus. Angka tersebut bahkan lebih tinggi dibanding tahun 1982.

Blunder Kebijakan Pemotongan Pajak

Pada 23 September, Menteri Keuangan Kwansi Kwarteng--yang sekarang telah mengundurkan diri--mengumumkan kebijakan pemotongan pajak terbesar dalam sejarah Inggris dalam 50 tahun.

Diperkirakan sekitar 45 miliar pound pajak akan hilang selama lima tahun. Rencana ekonomi baru yang disebut "Trussonomics" ini mengacu pada kebijakan serupa di era Ronald Reagan atau masa Reaganomics pada 1980an.

Pasar global merespon kebijakan tersebut dengan menjual aset yang didukung Inggris dan mendorong mata uang Inggris merosot tajam menjadi USD1,03 sekaligus nilai terendah yang pernah ada terhadap dolar AS.

Nilai Tukar Poundsterling Terhadap USD

Sumber: Trading Economics

Pengumuman rencana baru Kwarteng dan Truss juga memicu aksi jual obligasi pemerintah  yang begitu ekstrem sehingga Bank of England harus mengintervensi pasar dengan membeli obligasi senilai 65 miliar pound untuk memulihkan kondisi pasar yang kacau.

Salah satu alasan Trussonomics begitu menakutkan adalah gagasan bahwa pemotongan pajak akan dibiayai dengan pinjaman lebih lanjut.

Inggris sudah memiliki beban utang publik yang signifikan. Tanpa adanya pajak baru, Biro Anggaran Inggris memperingatkan, utang publik akan membengkak menjadi 320% dari PDB Inggris dalam 50 tahun, naik dari 96%, atau menjadi 2,4 triliun pound.

Setelah pasar keuangan bergejolak akibat kebijakan tersebut, Dana Moneter Internasional (IMF) ikut mendesak Inggris mencabut kebijakan tersebut dan ekonom Larry Summers mencemooh langkah itu sebagai kebijakan yang tidak bertanggung jawab.

"Sifat tindakan Inggris kemungkinan akan meningkatkan ketidaksetaraan. IMF mempertimbangkan cara-cara untuk memberikan dukungan yang lebih bertarget dan mengevaluasi kembali tindakan pemotongan pajak, terutama yang menguntungkan mereka yang berpenghasilan tinggi," terang IMF mengutip Vox.com.

Meskipun Truss bertaruh bahwa pemotongan pajak akan memacu pertumbuhan ekonomi dan menarik Inggris keluar dari kemungkinan resesi, investor juga melihat kebijakan tersebut sebagai kesalahan besar.

Truss menganut gagasan Ronald Reagan dan Margaret Thatcher bahwa mengucurkan uang ke konsumen dan bisnis akan memacu mereka untuk membelanjakan uang lebih banyak dan mendorong pertumbuhan di seluruh perekonomian.

“Namun, dorongan jangka pendek, itu akan meningkatkan utang publik, memperlebar defisit anggaran, memicu inflasi inti dan membebani pound," mengutip FocusEconomics dalam sebuah laporan.

Pemotongan pajak hanya akan menguntungkan orang kaya Inggris karena banyak di antara mereka telah membangun bantalan keuangan yang substansial selama pandemi dan yang kemungkinan besar akan menabung, daripada membelanjakan uangnya.

Perusahaan juga akan lebih cenderung mengambil pemotongan pajak sebagai cara untuk meningkatkan margin keuntungan mereka daripada menginvestasikan dana untuk ekspansi bisnis, menurut analisis Deutsche Bank.

Deutsche Bank memperkirakan pemotongan pajak ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi Inggris hanya 0,5%.

Ruth Gregory, ekonom senior Capital Economics, mengatakan pemotongan pajak gagal mengatasi satu masalah utama yang merugikan ekonomi Inggris yakni hambatan rantai pasokan yang menaikkan harga makanan hingga energi.

"Tanpa dorongan besar pada sisi penawaran, paket fiskal hari ini hanya akan berarti lebih banyak inflasi, suku bunga yang lebih tinggi, dan rasio utang yang lebih tinggi di masa depan," tulisnya.

Liz Truss dan Selada

Di tengah kehebohan politik di Inggris, akhir-akhir ini, media bahkan turut melempar kritik dengan balutan lelucon untuk karir politik Liz Truss.

Ini berawal dari media kenamaan The Economist dan the Daily Star yang memainkan kata Liz Truss dengan lettuce (selada).The Economist, misalnya, menyebut Truss sebagai ‘The Iceberg Lady’ alias wanita gunung es, sembari memprediksi karirnya akan sepanjang ‘masa simpan selada’.

Sontak saja, media besar lainnya ikut membuntuti.

The Washington Post, dalam artikel tertanggal 15 Oktober, membuka artikel dengan pertanyaan: Apa kesamaan masa jabatan politik PM  Inggris Liz Truss dan selada kepala yang layu?

Jawabannya, kata the Post, keduanya memiliki tanggal kedaluwarsa.

Kemudian, Kolom opini di The New York Times, pada 19 Oktober 2022, membikin judul yang juga menggelitik: Liz Truss or Lettuce: Who Will Wilt First? (Liz Truss atau Selada: Siapa yang Akan Layu Duluan?).

Jawabannya? Mari kita tunggu. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement