Ketertinggalan Indonesia pada aspek kemampuan membaca atau pengembangan SDM di sektor pendidikan diyakini semakin terhambat, jika pemerintah mengenakan PPN. Alasannya, karena biaya yang ditanggung akan mahal.
Meski begitu, Bhima belum memahami dasar pemerintah akan menetapkan kebijakan tersebut. Padahal, di banyak negara, PPN pendidikan justru dikecualikan.
"Dasarnya apa, saya juga kurang paham, kalau hanya sekedar kejar-kejaran soal penerimaan pajak jangka pendek. Pemerintah sepertinya tidak paham filosofi pembuatan aturan PPN kenapa pendidikan harus dikecualikan," katanya.
Dia menilai, dari seluruh jasa pendidikan, risikonya paling besar dikenakan PPN adalah perguruan tinggi, dimana, omset-nya diatas Rp 4,8 miliar per tahun. Ini akan mempengaruhi biaya kuliah karena pendapatan masyarakat menengah bawah belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19.
"Meskipun pemerintah akan bersikeras bahwa siswa miskin mendapat beasiswa, tapi bagaimana dengan kelompok siswa menengah yang pas-pasan? Jadi sangat salah total revisi kebijakan PPN. Pemerintah disarankan menarik pembahasan revisi KUP khususnya berkaitan dengan memasukkan jasa pendidikan menjadi objek PPN," tutur dia. (TIA)