sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Jokowi Diyakini Tak Akan Naikkan Harga BBM Subsidi Dalam Waktu Dekat, Ini Alasannya

Economics editor Taufan Sukma/IDX Channel
23/08/2022 16:51 WIB
Presiden Joko Widodo diperkirakan tidak akan gegabah dalam memutuskan kebijakan tersebut, mengingat dampak kenaikan harga BBM bakal sangat signifikan.
Jokowi Diyakini Tak Akan Naikkan Harga BBM Subsidi Dalam Waktu Dekat, Ini Alasannya (foto: MNC Media)
Jokowi Diyakini Tak Akan Naikkan Harga BBM Subsidi Dalam Waktu Dekat, Ini Alasannya (foto: MNC Media)

IDXChannel - Spekulasi terkait rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis pertalite dan solar terus berkembang luas di masyarakat. Meski demikian, sebagian pihak meyakini bahwa kebijakan tersebut tidak akan diambil pemerintah dalam waktu dekat.

Meski sinyal kenaikan tersebut santer disampaikan oleh sederet menteri, namun Presiden Joko Widodo diperkirakan tidak akan gegabah dalam memutuskan kebijakan tersebut, mengingat dampak kenaikan harga BBM bakal sangat signifikan terhadap daya beli masyarakat secara luas.

Sebagaimana diketahui, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, pekan lalu telah menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemungkinan bakal mengumumkan kenaikan harga pertalite dan solar pada pekan ini.

"Meski Pak Luhut sudah statement bahwa (kenaikan harga BBM) bakal diumumkan pekan ini, Saya meyakini Pak Jokowi tidak akan pernah mengumumkannya di pekan ini. Bahkan di pekan depan sekali pun," ujar Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, Selasa (23/8/2022).

Keyakinan tersebut, menurut Fahmy, didasarkan pada fakta bahwa kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10.000 per liter dan harga Solar menjadi Rp8.500 per liter bakal menyulut inflasi secara signifikan. Kenaikan harga Pertalite dalam hitungan Fahmy bakal berkontribusi terhadap inflasi sebesar 0,93 persen. Sedangkan kontribusi kenaikan harga Solar diperkirakan mencapai 1,04 persen.

"Artinya dari kenaikan harga pertalite dan solar, akan menyumbang (kenaikan) inflasi sampai 1,97 persen. Padahal inflasi pada Juli 2022 sudah mencapai 5,2 persen secara tahunan (yoy), sehingga total inflasi bakal mencapai 7,17 persen, jauh lebih tinggi dibanding inflasi pada 2021 yang hanya di kisaran tiga persen yoy," tutur Fahmy.

Dengan asumsi perhitungan tersebut, Fahmy menjelaskan bahwa posisi inflasi sebesar 7,17 persen bakal memperpuruk daya beli dan konsumsi masyarakat, sehingga berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai dengan susah payah sebesar 5,4 persen.

Selain itu, inflasi sebesar 7,17 persen juga dapat mendongkrak harga-harga kebutuhan pokok yang tentunya bakal lebih memperberat beban masyarakat, terutama rakyat miskin. Bahkan, rakyat miskin yang tidak pernah menikmati subsidi BBM lantaran tidak punya kendaraan bermotor juga harus berkorban akibat penaikan harga BBM Subsidi.

"Dalam berbagai kesempatan Pak Jokowi mengatakan bahwa opsi kebijakan yang akan dipilih terkait subsidi BBM adalah tidak memberatkan beban rakyat miskin. Berdasarkan pernyataan ini pada dasarnya sudah menjadi isyarat bahwa Pak Jokowi tidak akan menaikkan harga BBM Subsidi dalam waktu dekat ini, karena pertaruhannya cukup besar," ungkap Fahmy.

Memang diakui Fahmy, beban APBN untuk subsidi energi saat ini semakin membengkak hingga mencapai Rp502,4 triliun. Namun perlu diingat bahwa beban subsidi sebesar itu merupakan total dari seluruh anggaran subsidi energi, yang terdiri dari subsidi BBM, LPG 3Kg, dan listrik. Membengkaknya anggaran itu diperhitungkan berdasarkan beberapa asumsi, yaitu dinamika harga minyak dunia, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, dan inflasi.

"Sedangkan realisasi yang benar-benar dikeluarkan (cash out flow) per 31 Juli 2022 dari total subsidi energi baru sebesar Rp88,7 trliun. Untuk realisasi anggaran subsidi BBM dan LPG 3 kg juga baru sebesar Rp62,7 triliun," ungkap Fahmy.

Bahkan dengan beban pengeluaran sebesar itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani masih dengan entengnya bisa menambah quota Pertalite sebesar 5 juta KL. Selain pengeluaran riil subsdi BBM (cash out flow), ada juga tambahan pemasukan riil (cash inflow) di APBN akibat kenaikan harga komoditi ekspor yang meningkat.

"Berdasarkan komposisi tambahan pemasukan dan pengeluaran APBN 2022 sesungguhnya tiadak ada urgency bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM Subsidi di pekan ini, bahkan tidak juga di tahun ini," tegas Fahmy. (TSA)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement