Indonesia dan Malaysia masing-masing menyumbang 44,6% dan 25,2% dari impor tersebut.
Impor Uni Eropa dari Indonesia juga tercatat naik 9% di tahun 2021 jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Saat ini, Indonesia tengah menunggu hasil sidang gugatan diskriminasi sawit atas kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation (DR) tersebut.
Keputusan Indonesia untuk melarang ekspor nikel bisa dibilang merupakan upaya tekanan balik secara ekonomi terhadap Uni Eropa.
Indonesia memberlakukan larangan penuh atas ekspor bijih nikel telah berlaku sejak Januari 2020. Sementara pemerintah mewajibkan pelaku usaha untuk mengolah atau memurnikan bahan mentah di Indonesia sebelum diekspor, termasuk nikel.
Langkah-langkah ini dianggap Uni Eropa berlebihan dan ilegal karena akan membatasi akses ke bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi baja tahan karat dan mendistorsi harga bijih pasar dunia.
Uni Eropa menghubungi Indonesia untuk mencoba menyelesaikan sengketa tersebut sebelum meminta konsultasi di WTO pada November 2019. Setelah konsultasi tersebut tidak menghasilkan resolusi, benua Biru langsung menggugat dan meminta pembentukan Panel WTO pada Januari 2021.
Sementara menurut data Komisi Eropa, Indonesia merupakan salah satu mitra dagang barang terbesar ke-31 Uni Eropa. Dalam hal ini,
Larangan ekspor nikel oleh Jakarta bisa dilihat sebagai kartu AS lain yang dimainkan. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat Indonesia merupakan negara dengan sumberdaya nikel terbesar dunia. Wajar jika pembatasan ekspor akan mengancam negara-negara maju seperti Eropa. (Lihat grafik di bawah ini.)
Menurut Stefan Mayr, ilmuwan senior di Institute for Law and Governance di Vienna University of Economics and Business, semenjak kisruh CPO, sengketa antara Uni Eropa dan Indonesia bukan semata murni alasan penegakan hukum.
"Pilihan yang akan dipilih Uni Eropa jelas bukan bentuk hukum murni," kata Mayr, dikutip DW, (22/7/22).
Terlebih, perang Rusia di Ukraina, yang dimulai pada akhir Februari, telah menambah tekanan pada benua Biru untuk mengamankan pasokan bahan bakarnya, termasuk untuk biofuel.
Jika WTO sekali lagi mendukung Uni Eropa dalam gugatan sawit, posisi WTO sebagai wasit dalam hubungan dagang yang idealnya mengedepankan win-win solusi barangkali perlu dipertanyakan. (ADF)