Iklim gurun di negara tersebut juga menyebabkan penyelenggaraan Piala Dunia kali ini diadakan pada akhir musim gugur, bukan di musim panas seperti lazimnya penyelenggaraan-penyelenggaraan sebelumnya. Hal ini sekali lagi menimbulkan kemarahan sejumlah pihak, dan memicu spekulasi tuduhan bahwa pihak Qatar telah melakukan suap terkait penunjukannya sebagai tuan rumah.
Tak hanya itu, Qatar juga panen tuduhan atas sejumlah dugaan pelanggaran hak azasi manusia terhadap para pekerja pembangunan stadion dan beraneka ragam fasilitas penunjang penyelenggaraan Piala Dunia. Atas berbagai tuduhan itu, pihak Qatar telah menolak tegas, namun tetap menyisakan kedongkolan di kedua pihak.
Kini, semua mata masyarakat dunia, terutama para pecinta sepak bola, tertuju pada negara kecil tersebut yang menjadi tuan rumah dengan menghabiskan biaya mencapai USD220 miliar.
Sebagai perbandingan, total biaya yang dikeluarkan Qatar itu setara dengan 20 kali lipat anggaran yang dikeluarkan Pemerintah Rusia, saat menghelat Piala Dunia untuk edisi 2018 lalu.
James Dorsey, seorang rekan senior di National University of Singapore, mengatakan jika penanganan di negara yang aktivisnya biasanya tidak membiarkan perbedaan pendapat, kemungkinan akan menimbulkan keributan penggemar dan isu-isu sensitif budaya seperti kemungkinan menunjukkan kasih sayang sesama jenis.