Padahal, Bursa Efek Indonesia (BEI), telah menyediakan list indeks saham yang liquid seperti indeks LQ45, tetapi lembaga investasi keuangan malah cenderung melakukan investasi kepada saham-saham yang sangat atraktif, yang memiliki tingkat fluktuatif tinggi tetapi dengan prospek bisnis saham yang tidak terlalu menjanjikan.
"Ini bisa menjadi contoh bagi investor-investor selanjutnya untuk lebih hati-hati lagi. Kalau pun mereka melakukan investasi kepada institusi melalui reksa dana, mesti diperhatikan lagi reksa dana itu sahamnya kemana aja yang dibeli oleh Manajer Investasi tersebut. Kalau saham-sahamnya cukup baik secara fundamental ya kita lihat saham-saham yang ada di LQ45," ujar Lanjar saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, Selasa (16/2/2021).
Menurut dia, kalau melakukan investasi pribadi kasus ini menjadi contoh dimana seorang investor harus berhati-hati lagi dalam memilih saham-saham untuk dilakukan investasi.
Dia menyebut, kasus Jiwasraya dan Asabri dititikberatkan kekeliruan dalam berinvestasi, karena investasi yang dilakukan tidak kepada saham-saham yang memiliki prospek secara fundamental maupun likuiditas yang cukup baik, hingga salah satu dari investasi tersebut terkena kasus.
"Disini saya tidak melihat ada di (saham) Indofood atau Telkom, atau pun di bank bank yang sering dijadikan target investasi defensif oleh investor seperti BCA, Mandiri, BNI dan BTN," kata dia.