"Manajemen saat itu memutuskan tidak mengoperasikan, atas seluruh kajian yang ada, sambil kami siapkan fasilitas BOF-nya," kata dia.
Tak hanya itu, kerugian terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara kapasitas fasilitas hulu (ironmaking and steelmaking) dan kapasitas fasilitas hilir (rolling), membuat perusahaan harus mengimpor bahan baku. Lalu, perusahaan memproduksi baja setengah jadi dengan harga yang tinggi dan berfluktuasi.
"Setelah beroperasi, kami menghitung antara produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok hitungannya atau dengan kata lain rugi. Dengan ini Kementerian BUMN berkonsultasi dengan BPK, dengan kajian lembaga independen, kita putuskan menghentikan operasinya," ungkap dia.
Persoalan lain, lanjut Silmy, terkait dengan kenaikan harga hingga keterbatasan jumlah energi seperti listrik dan natural gas. Perkara ini mendorong KRAS untuk mengambil langkah efisiensi berupa mencari energi alternatif lain.
Meski ketiadaan fasilitas BOF, Silmy menyebut, pada 2008 lalu Krakatau Steel sudah memiliki fasilitas hulu berupa direct reduction plant, slab steel plant, dan billet steel plant. Manajemen pun berhitung bahwa pengembangan kapasitas baja dimulai dari fasilitas hulu dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas eksisting.