IDXChannel - Direktur Eksekutif (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal menilai fluktuasi nilai tukar Renminbi China (RMB) dan Rupiah (Rp) cenderung lebih kecil dan stabil. Adapun hal itu akan mempermudah perdagangan karena mengurangi exchange cost.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) resmi menandatangani kesepakatan dengan China untuk menggunakan local currency settlement (LCS) atau mata uang lokal dalam transaksi perdagangan maupun investasi. Sebab, volume transaksi perdagangan Indonesia dengan China terus meningkat.
Terkait hal itu, Faisal memberi catatan jika Indonesia ingin menggunakan LCS maka harus tetap melibatkan rupiah. Sebab, jika tidak demikian rupiah akan berisiko memiliki daya tarik yang lebih kecil karena struktur ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas jika dibandingkan dengan produk manufaktur.
“Kalau kita ekspor ke China hampir 70 persennya adalah dalam bentuk komoditas. Sementara manufaktur hanya sekitar 30 persen. Tapi trennya memang sedikit-demi sedikit membaik dari 10 tahun terakhir,” ujar Faisal dalam diskusi virtual, Jumat (6/8/2021).
Namun di sisi lain, Indonesia lebih banyak melakukan impor produk manufaktur dari negeri Tirai Bambu tersebut. Sementara impor komoditas relatif lebih sedikit. Sehingga dengan demikian, dari sisi tawar penggunaan RMB bisa lebih kuat karena China mampu menguasai ekspor dengan nilai tambah yang lebih besar.
“Dari sisi impor, justru 90 persen kita konsisten selama 10 tahun terakhir, yang kita impor itu adalah produk-produk manufaktur. Sementara 10 persennya itu hanya komoditas,” terangnya.
Disamping itu, ia juga berpendapat karena China memiliki daya tawar yang lebih besar pada produk-produk berteknologi tinggi, maka penggunaan RMB akan menjadi lebih dominan.
“Terlebih lagi indeks perkembangan keuangan China yang lebih tinggi terhadap Indonesia, itu nanti akan semakin mendorong penggunaan RMB dalam perdagangan,” tuturnya.
Ia menambahkan, dalam tataran makro perlu adanya upaya untuk membuat mata uang Rupiah menjadi lebih menarik untuk digunakan dalam kerjasama Indonesia dengan China. Untuk itu, perlu meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan terhadap Rupiah dengan didukung oleh kebijakan ekonomi makro yang tepat termasuk mengurangi risiko volatilitas nilai tukar Rupiah. (NDA)