Bima menjelaskan perlambatan pertumbuhan kredit ini merupakan cerminan dari aktivitas daya beli masyarakat yang melemah. Para pelaku usaha masih cenderung enggan untuk melakukan ekspansi di tengah tekanan daya beli hingga pajak.
Sehingga menurutnya, tidak cukup jika sekedar uang diletakkan di Bank Himbara, tetapi diperlukan juga stimulus fiskal tambahan agar menjadi pemantik aktivitas konsumsi di masyarakat.
Dia menyebut pajak pertambahan nilai (PPn) semestinya bisa diturunkan dari 11 persen menjadi 8 persen. Cara ini diyakini bisa mendorong geliat ekonomi masyarakat.
Bima menilai, pemerintah pun tidak perlu terlalu mengkhawatirkan soal penerimaan negara yang melambat imbas pemangkasan PPn. Sebab, menurutnya, penurunan pajak justru akan menggeliatkan aktivitas industri, menyerap lebih besar tenaga kerja, sehingga pajak penghasilan bakal meningkat di tengah pemangkasan PPn.
"Kita rekomendasikan ke pak Purbaya tarif PPN dipangkas dari 11 persen ke 8 persen, PTKP dinaikkan jadi Rp7 juta per bulan, dan serapan anggaran terutama terkait transisi energi. Kalau prakondisi itu dijalankan, maka pasokan dan permintaan akan sama-sama naik," kata Bima.
Lebih lanjut, Bima meniai penurunan tarif PPN bukan semata langkah populis yang mengorbankan penerimaan negara dalam jangka pendek, tetapi perlu menjadi momentum perombakan struktur pajak yang lebih seimbang.