Sebagai ilustrasi kasar, tahun ini, Kementerian Perhubungan memperkirakan jumlah pemudik akan mencapai lebih dari 123 juta jiwa. Angka ini meningkat drastis, mengingat masyarakat Indonesia telah menahan mudik pada 2020 hingga 2021 akibat adanya gelombang pandemi Covid-19. (Lihat grafik di bawah ini.)
Tahun ini, mudik diperkirakan akan semakin semarak karena kasus Covid-19 yang sudah semakin terkendali dan pencabutan pembatasan sosial.
Dengan asumsi pemudik sebesar itu membawa rata-rata uang Rp10 juta, berarti akan terjadi transfer uang ke daerah sekurangnya hingga sekitar Rp2.300 triliun.
Dalam pendekatan ekonomi, fenomena ini disebut redistribusi ekonomi atau redistribusi kekayaan. Dalam kondisi ini, terjadi perpindahan kekayaan dari satu daerah ke daerah lainnya atau dari satu individu ke individu lain.
Redistribusi ekonomi pada momentum lebaran dibedakan dalam dua tipe pemudik. Pertama, tipe pemudik sektor informal berpenghasilan rendah dan kedua, tipe pemudik dari pekerja formal berpenghasilan lebih tinggi.
Biasanya, bentuk redistribusi ekonomi yang dilakukan kelompok pertama adalah membelanjakan uang untuk memperbaiki rumah, membeli barang elektronik, pakaian baru, makanan, minuman, atau untuk memulai suatu usaha baru di kampung.
Sementara, untuk tipe pemudik kelompok kedua didominasi oleh profesi formal, seperti dokter, pengacara, bankir, pegawai negeri, karyawan swasta, dan sebagainya.
Adapun, bentuk redistribusi ekonomi yang dilakukan kelompok ini pada prinsipnya tidak jauh berbeda dari pemudik tipe pertama. Hanya saja, ada bentuk-bentuk redistribusi lain yang juga dijalankan seperti membagi-bagikan uang kepada sanak saudara di kampung, menyewa tukang cuci, sopir pribadi, atau pergi ke tempat wisata bersama keluarga.
Optimisme geliat konsumsi ini semakin menambah semarak Ramadan dan Idul Fitri 2023. Menurut survei Jakpat membuat yang bertajuk Welcoming 2023 Ramadan & Eid yang dirilis pada Rabu (15/3) lalu, potensi pengeluaran utama masyarakat muslim Indonesia pada bulan Ramadan dan menjelang Idul Fitri.
Hasilnya, anggaran belanja, baik untuk kebutuhan Ramadan dan Lebaran atau kebutuhan lainnya masuk ke dalam posisi lima besar prioritas masyarakat dengan persentase masing-masing 69% dan 53%.
Pengeluaran lain yang masuk ke dalam posisi 10 besar lebih banyak dialokasikan untuk aktivitas-aktivitas pemberian. Beberapa di antaranya adalah untuk mudik (43%), bepergian dan liburan (42%), uang tunai untuk hadiah lebaran (42%), dan pemberian bingkisan atau hampers (36%). (Lihat grafik di bawah ini.)
Belum lagi potensi perputaran uang sektor transportasi yang sudah pasti akan memperoleh berkah dari adanya high demand.
Tahun lalu, pemerintah mencatat puncak arus mudik di 20 bandara Angkasa Pura II terjadi pada 29 April 2022 atau H-3 dengan jumlah pergerakan penumpang pesawat secara kumulatif mencapai 218.657 orang dan frekuensi penerbangan sebanyak 1.649 penerbangan.
Dari sektor darat, mengutip Okezone.com, berdasarkan pantauan pada Kamis (23/3/2023), tiket Kereta Api (KA) Jarak Jauh masa Angkutan Lebaran 2023 untuk keberangkatan KA tanggal 12 April - Mei 2023 telah terjual 1.006.393 tiket atau 37% dari total keseluruhan tiket yang disediakan. Jumlah tersebut berpotensi masih akan bertambah.
Ini semakin mempertegas tradisi mudik akan menciptakan redistribusi ekonomi dari kota besar, khususnya Jakarta ke daerah lain di Indonesia. Pada gilirannya, bisa menstimulasi aktivitas produktif masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Kondisi ini juga bisa meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan daerah kepada pusat.