Lantas mengapa kegiatan pamer harta atau flexing di media sosial sensitif bagi publik?
Pamer harta terutama di sosial media merupakan sikap yang bisa menyakiti realitas ketidaksamarataan atau kesenjangan (inequality), terutama dalam hal ekonomi.
Banyak penelitian menemukan, efek ketimpangan pendapatan akan berdampak pada banyak aspek, termasuk tingkat kesehatan dan masalah sosial yang lebih tinggi. Ketimpangan pendapatan ini mendorong rendahnya kepuasan dan kebahagiaan dalam masyarakat.
Indonesia sendiri menjadi salah satu negara dengan gap kesenjangan yang cuku besar. Menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki salah satu tingkat ketimpangan tertinggi di kawasan Asia Timur, dengan naiknya koefisien Gini dari 0,32 pada 1999 menjadi 0,41 pada 2012.
Sementara menurut studi Oxfam, dalam dua dekade terakhir, kesenjangan antara yang kaya dan miskin di Indonesia tumbuh lebih cepat daripada di negara lain mana pun di Asia Tenggara.
Untuk itu, Indonesia pada 2017 menduduki posisi keenam negara dengan ketidaksetaraan kekayaan terbesar di dunia. Pada periode tersebut, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih banyak dari total gabungan 100 juta orang termiskin.
Bahkan menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada September 2022 lalu meningkat sebesar 9,57 persen. Angka ini meningkat 0,03 persen poin terhadap Maret 2022. Adapun jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta orang terhadap Maret 2022.
Kondisi ini ini menyebabkan semakin mudahnya gesekan sosial terjadi jika perilaku pamer harta terus dilakukan, apalagi oleh pejabat publik yang mudah terekspose media dan masyarakat. (ADF)