Pasalnya, pembelian rumah dan kendaraan bermotor yang biasa dilakukan masyarakat sebagian besar menggunakan fasilitas kredit. Dengan mandegnya kenaikan upah dan era suku bunga tinggi, maka akan membuat konsumsi masyarakat terganggu.
"Kenaikan bunga acuan juga membuat kredit konsumsi lainnya mengalami pelambatan. Bunga di Indonesia sudah tinggi, ditambah naiknya bunga acuan BI makin tinggi lagi," tutur Bhima saat dihubungi IDX Channel.
"Pendapatan masyarakat yang dialokasikan untuk bayar cicilan kredit bisa makin besar porsinya dan mengurangi alokasi pembelian barang lainnya," tandas Bhima.
Jebakan Kelas Menengah
Buruh yang tidak mengalami kenaikan upah juga rentan membuat Indonesia semakin terjebak ke dalam middle income trap.
Artinya, pendapatan buruh yang stagnan dan tergerus tingginya konsumsi membuat kelas pekerja ini tak mampu melakukan saving dan pengembangan aset, sehingga Indonesia gagal menjadi negara maju.
Padahal, menurut data terbaru Bank Dunia per triwulan II-2023, pendapatan nasional bruto alias Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia sebesar USD4.580 pada 2022 atau naik sekitar 9,8 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Ini menjadikan Indonesia masuk dalam klasifikasi negara upper middle income. (Lihat grafik di bawah ini.)
Asia Development Bank mendefinisikan middle income trap (MIT) adalah situasi dimana negara berpendapatan menengah tidak dapat melakukan transisi menuju negara berpendapatan tinggi.
Hal ini disebabkan produktivitas tenaga kerja yang masih rendah, biaya produksi tinggi dan produksi barang belum memiliki nilai tambah yang tinggi sehingga tidak dapat bersaing secara internasional.
MIT mengakibatkan pertumbuhan ekonomi melambat, pendapatan per kapita stagnan, dan standar hidup masyarakat tidak meningkat. (ADF)