Di sisi lain, Yeka mengatakan Kemendag dan Kemenko Perekonomian telah sejalan dalam menyampaikan solusi atas permasalahan ini. Dengan mendorong pemberian kebijakan maupun diskresi atau relaksasi berupa penundaan pemberlakuan Permentan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengawasan RIPH terhadap Persetujuan Impor (PI) yang terbit sebelum diterbitkan Permentan tersebut.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, Yeka mengungkapkan terdapat tumpang tindih regulasi mengenai persyaratan impor produk hortikultura, yakni Permentan 39/2019 jo Permentan 2/2020 jo Permentan 5/2022 dengan Permendag 20/2021 jo Permendag 25/2022.
“Adanya tumpang tindih regulasi ini menyebabkan tidak jelasnya prosedur pelayanan publik dalam importasi produk hortikultura dan pada akhirnya merugikan masyarakat, khususnya para pelaku usaha atau importir yang mengakses layanan. Hal ini tidak sesuai dengan standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik,” terang Yeka.
Yeka menambahkan, Ombudsman berpendapat bahwa kegiatan impor yang dilakukan oleh pelapor secara hukum telah sah, karena telah memiliki izin berupa Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan.
Terkait Permentan 05/2022 tentang Pengawasan RIPH sebagai dasar hukum penahanan barang impor yang diterbitkan pada tanggal 18 Mei 2022, Yeka mengatakan, seharusnya tidak berlaku surat terhadap SPI yang dimiliki oleh pelapor/importir yang telah diterbitkan sejak Januari-April 2022.
Sebagai informasi tambahan, Ombudsman mencatat, hingga 20 September 2022, total kerugian importir diperkirakan mencapai Rp 10 miliar dan total nilai barang mencapai Rp 100 miliar dengan volume barang mencapai 400 peti kemas (kontainer).
(FRI)