Sebagai respons cepat, pemerintah Indonesia melalui Tim Negosiasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, segera menyusun strategi dan melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha.
Berbagai pertimbangan yang dihimpun kemudian menjadi dasar bagi Presiden Prabowo Subianto untuk memutuskan negosiasi bilateral. Setelah Presiden AS Donald Trump memperbarui kebijakannya dengan menunda penerapan tarif selama 90 hari, tim negosiator Indonesia memanfaatkan momentum tersebut dengan bertolak ke Washington DC. Mereka berhasil menyepakati Non-Disclosure Agreement (NDA) sebagai landasan pembahasan teknis.
Sesuai arahan Presiden Prabowo, tim negosiator Indonesia menawarkan strategi 'Pak-Pok' yang menitikberatkan pada perdagangan yang adil dan seimbang (fair and square) bagi kedua belah pihak. Salah satu fokusnya adalah menyeimbangkan neraca perdagangan AS-Indonesia. Sebagai tindak lanjut, pada 7 Juli 2025, sejumlah perusahaan Indonesia dan AS menandatangani kerja sama perdagangan untuk mewujudkan komitmen tersebut.
Namun, Presiden Donald Trump kemudian mengirim surat kepada Presiden Prabowo yang menyatakan tarif resiprokal untuk Indonesia tetap 32 persen dan berlaku pada 1 Agustus 2025. Menanggapi hal ini, Menko Airlangga dan tim negosiator kembali ke Washington DC. pada 9 Juli 2025, untuk melanjutkan negosiasi.