Kondisi inilah, yang menurut Kholid, membuat pemerintah semakin pusing dan berada pada kondisi dilematis. Hal itu lantaran di satu sisi pemerintah masih punya kewajiban memberikan subsidi pada jenis-jenis BBM yang telah ditentukan, namun di lain sebagian dari anggaran subsidi tersebut malah terserap untuk jenis BBM Pertamax yang notabene tidak termasuk jenis BBM yang layak mendapatkan anggaran subsidi.
"Memang praktik subsidi atas barang itu dalam pengalamannya hampir selalu identik dengan penyimpangan. Karena memang tidak mudah. Bayangkan, produk yang sama punya dua harga. Ada solar subsidi, ada solar industri. Jenis dan kualitasnya sama. Elpiji ada yang disubsidi (tabung 3 Kg), ada yang dijual sesuai harga pasar. Logikanya, kalau ada yang murah, kenapa harus beli yang mahal?" keluh Kholid.
Dengan logika seperti itu, menurut Kholid, maka sangat bisa dipahami bila yang terjadi di lapangan pemberian subsidi tidak jatuh ke tangan masyarakat yang berhak, melainkan justru dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya yang seharusnya tidak layak mendapatkan subsidi dari pemerintah.
"Praktiknya bisa dengan mudah kita temui di lapangan. Orang kaya tapi pakai elpiji tabung tiga kilogram. Orang punya mobil, mampu beli mobil, pakai BBM-nya pertalite dan biosolar. Pengusaha ikan tangkap, pemilik kapal-kapal besar itu justru tidak beli solar industri tapi menadah solar subsidi," tutur Kholid.
Akibatnya, berdasarkan hasil riset Badan Kebijakan Fiskal (BKF), 60 persen masyarakat terkaya menikmati 79,3 persen BBM subsidi. Sedangkan 40 persen masyarakat golongan bawah hanya mengonsumsi BBM subsidi sebanyak 20,7 persen saja.