Lalu solar subsidi sebanyak 72 persen juga dinikmati oleh rumah tangga desil 6 teratas. Sedangkan masyarakat dengan desil 4 ke bawah hanya 21 persen saja. Begitu pun Studi Schuhbauer et al pada 2020 menyebut solar subsidi hanya dinikmati tujuh persen nelayan skala kecil, dan selebihnya justru dikonsumsi oleh sektor perikanan skala besar.
Sementara Survei Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) juga menyebut 38,4 persen nelayan justru tidak memiliki surat rekomendasi untuk membeli solar subsidi. Sebanyak 36,2 persen lagi malah tidak mengetahui adanya BBM bersubsidi, dan 22,2 persen mengaku tidak ada penjual BBM bersubsidi di sekitar lokasinya tinggal.
"Data-data inilah yang menyebabkan duit subsidi kita jebol. Dana subsidi dan kompensasi energi tahun ini dianggarkan sebesar Rp502 triliun, dan karena harga minyak sedang mahal, maka jika tidak ada kebijakan lain, akan bisa bengkak ke angka Rp698 triliun," papar Kholid.
Sedangkan bila harus menghemat konsumsi BBM dengan membatasi aktivitas masyarakat, maka yang dipertaruhkan adalah aktivitas pemulihan ekonomi yang sudah mulai berjalan baik pasca pandemi COVID-19. Maka, Kholid menilai, opsi menaikkan harga BBM merupakan jurus paling mudah dan 'cespleng', namun dampaknya dirasakan oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
"Semua orang terdampak, termasuk dan justru terutama, tentunya orang miskin. Dampaknya daya beli turun, inflasi naik. Tapi yang paling ditakuti adalah stagflasi. Tapi kalau subsidi ditambah, tentu kita akan kehilangan kesempatan memperbaiki infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan ekonomi berbasis pengetahuan," ungkap Kholid.