IDXChannel - Hubungan kemitraan antara Indonesia dan Uni Eropa sedang tidak baik-baik saja lantaran kebijakan perundangan deforestasi yang akan segera disahkan benua Biru tersebut.
Diketahui, Uni Eropa akan mengesahkan undang-undang (UU) tersebut sebagai upaya dalam melawan perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
UU baru ini mewajibkan perusahaan untuk memastikan produk yang dijual di Uni Eropa tidak menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan.
Merespons hal ini, Indonesia menganggap Uni Eropa melakukan "imperialisme regulasi" dengan undang-undang deforestasi yang baru. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Reuters pada Kamis (8/6).
Dalam merespon hal ini, Indonesia masih akan melakukan negosiasi untuk perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA) dengan blok tersebut. Indonesia juga akan melakukan konsultasi terpisah dalam mencari titik temu perselisihan tentang aturan deforestasi Uni Eropa.
"Kami sedang mendiskusikan fasilitasi perdagangan. Tapi pada saat yang sama, mereka sedang membangun tembok penghalang. Ini tidak adil," kata Airlangga di Brussel pekan lalu bersama wakil perdana menteri Malaysia.
Aturan Deforestasi Uni Eropa
Dalam aturan baru tersebut, Uni Eropa menekankan perusahaan yang diizinkan untuk menjual produk di Uni Eropa jika pemasok produk tersebut telah memenuhi ‘uji tuntas’. Uji tuntas ini akan mengonfirmasi bahwa produk yang dijual tidak berasal dari lahan hutan dan menyebabkan degradasi hutan per 31 Desember 2020.
Seperti yang diminta oleh parlemen Uni Eropa, perusahaan juga harus memverifikasi bahwa produk yang dihasilkan harus mematuhi undang-undang yang relevan di negara asal, termasuk memenuhi prinsip hak asasi manusia, termasuk memastikan hak masyarakat adat yang terkena dampak telah dihormati.
Produk yang tercakup dalam EU Deforestation Regulation (EUDR) adalah hewan ternak sapi, kakao, kopi, minyak kelapa sawit, kedelai dan kayu, termasuk produk yang mengandung dua hal tersebut.
Selama negosiasi, parlemen juga berhasil menambahkan komoditas karet, arang, produk kertas cetak dan sejumlah turunan minyak sawit ke dalam daftar.
Parlemen juga menetapkan definisi degradasi hutan yang lebih luas yang mencakup konversi hutan primer atau hutan yang beregenerasi secara alami menjadi hutan tanaman atau lahan perhutanan lainnya.
Komisi Eropa juga akan mengklasifikasikan negara, ke dalam kategori berisiko rendah, standar, atau tinggi berdasarkan penilaian yang objektif dan transparan dalam waktu 18 bulan sejak peraturan ini mulai berlaku.
Produk dari negara berisiko rendah akan tunduk pada prosedur uji tuntas yang disederhanakan. Proporsi pemeriksaan dilakukan pada operator menurut tingkat risiko negara dengan mengacu pada 9% untuk negara berisiko tinggi, 3% untuk risiko standar, dan 1% untuk risiko rendah.
Otoritas Uni Eropa juga akan mengontrol perusahaan ini dengan memiliki akses ke informasi relevan yang diberikan oleh perusahaan, seperti koordinat geolokasi, dan melakukan pemeriksaan dengan bantuan alat pemantauan satelit dan analisis DNA untuk memeriksa dari mana asal produk.
Hukuman bagi entitas yang tidak patuh ini berupa denda maksimum harus minimal 4% dari total omset tahunan dari operator atau perusahaan di Uni Eropa.
Undang-undang baru ini memperoleh 552 suara anggota parlemen Eropa, di mana 44 menolak dan 43 abstain.
Langkah Uni Eropa ini diklaim mempertimbangkan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang memperkirakan bahwa 420 juta hektar hutan telah dikonversi dari hutan menjadi lahan pertanian antara tahun 1990 dan 2020.
Konsumsi Uni Eropa mewakili sekitar 10% dari deforestasi global ini di mana minyak kelapa sawit dan kedelai menyumbang lebih dari dua pertiganya.
Pada Oktober 2020, parlemen menggunakan hak prerogatifnya dalam Perjanjian untuk meminta Komisi mengajukan undang-undang untuk menghentikan deforestasi global yang didorong oleh Uni Eropa.
Kesepakatan dengan negara-negara Uni Eropa tentang undang-undang baru ini baru dicapai pada 6 Desember 2022 lalu.
Hubungan Dagang Indonesia-Uni Eropa
Peraturan terbaru Uni Eropa ini pantas saja membuat Indonesia geram. Pasalnya, hubungan dagang kedua negara dan wilayah ini telah terjalin sejak lama, bahkan sejak zaman penjajahan.
Di era modern, Indonesia adalah negara mitra dagang terbesar ke-31 bagi Uni Eropa. Sementara Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar ke lima bagi Indonesia pada 2021.
Berdasarkan data Komisi Uni Eropa, nilai total perdagangan barang kedua negara mencapai €24,7 miliar per 2021. Produk andalan Uni Eropa yang diekspor ke RI adalah mesin dan perlengkapan transportasi yang mencakup 36,8% dari total ekspor, bahan kimia sebesar 27,3%, dan binatang hidup sebesar 9,1%.
Adapun nilai ekspor Uni Eropa ke Indonesia pada 2021 menyentuh USD7,9 miliar euro.
Pada tahun 2021, ekspor Indonesia ke Uni Eropa menyumbang 8,5% dari ekspor barang global, senilai €16,8 miliar.
Adapun, impor RI dari Uni Eropa menyumbang 5,1% dari impor barang global senilai €7,9 miliar. Indonesia juga menjadi sumber impor terbesar ke-26, dan tujuan ekspor ke-37 pada 2021.
Sepanjang 2022, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor Indonesia ke Uni Eropa menembus USD21,28 miliar. Nilai tersebut setara dengan 7,71% dari total ekspor keseluruhan. Ekspor non-migas Indonesia ke Eropa tercatat sebesar USD63,55 miliar.
Dilihat dari jenisnya, produk utama ekspor Indonesia sepanjang 2021 di antaranya produk manufaktur sebesar 23,5%, minyak nabati menyumbang 17,7% dan bahan mentah manufaktur menyumbang 13,7%.
Komoditas dengan nilai ekspor tertinggi adalah binatang hidup dengan nilai ekspor mencapai €1,31 miliar.
Posisi kedua ditempatI oleh minuman dan tembakau, bahan bara mentah, bahan bakar mineral atau batu bara, minyak hewan dan nabati, produk kimia, berbagai produk manufaktur.
Komoditas yang Terancam
EU Deforestation Regulation (EUDR) akan mengatur perdagangan komoditas seperti sapi, kakao, kopi, minyak kelapa sawit, karet dan kayu. Sebagian besar komoditas ini adalah hasil bumi utama RI yang memiliki nilai jual tinggi di pasar internasional.
Sawit
Hubungan dagang sawit RI dengan Uni Eropa memang diwarnai gejolak dari tahun ke tahun. Ini karena sawit Indonesia dipandang tidak ramah lingkungan dan berasal dari produk deforestasi hutan.
Meski demikian, Uni Eropa sebenarnya membutuhkan sawit sebagai komoditas utama mereka untuk berbagai kebutuhan.
Menurut data BPS, dalam satu dasawarsa terakhir, tiga negara Uni Eropa menjadi penadah utama produk minyak sawit RI, di antaranya Belanda, Spanyol dan Italia. (Lihat grafik di bawah ini.)
Adapun sepanjang 2022, ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa menurun 23% secara yoy. Nilai ekspor CPO diperkirakan akan semakin turun akibat kebijakan Uni Eropa ini.
Beberapa negara Eropa penikmat sawit RI 2022 di antaranya Spanyol yang menjadi negara tujuan ekspor minyak sawit terbesar RI. Spanyol mengimpor CPO sebesar 622 ribu ton.
Italia adalah negara kedua tujuan ekspor minyak sawit terbesar RI sebesar 594 ribu di tahun lalu. Di posisi ke tiga ada Belanda yang mengimpor sawit Indonesia mencapai 429 ribu ton pada 2022.
Yunani berada di posisi ke empat negara tujuan ekspor terbesar CPO RI dengan jumlah pengiriman yang mencapai 108 ribu ton pada 2022.
Angka ini bahkan naik, dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 84 ribu ton. Jerman juga menjadi konsumen utama CPO RI dengan impor mencapai 36 ribu ton pada 2022.
Kakao dan Kopi
Kakao juga menjadi salah satu komoditas yang akan terancam oleh kebijakan EU Deforestation Regulation. Komoditas ini juga masih menjadi salah satu andalan ekspor RI ke pasar internasional.
BPS mencatat, ekspor kakao Indonesia sepanjang 2022 mencapai 385.981 ton senilai USD1,26 miliar. Jumlah tersebut meningkat 0,85% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 382.712 ton senilai USD1,21 miliar.
Berdasarkan tujuan ekspor Indonesia mengirim kakao dan produk olahannya ke 103 negara pada tahun lalu. India menjadi negara tujuan utama ekspor kakao dengan volume 68.386,49 ton dan senilai USD211,47 juta.
Ekspor kakao Indonesia ke dua terbesar ke negara Amerika Serikat sebesar 48.158,29 ton dengan nilai USD187,26 juta.
Malaysia menjadi tujuan ke tiga ekspor kakao Indonesia sebanyak 47.133,97 ton dengan nilai USD124,87 juta.
Indonesia turut mengekspor kakao ke China sebanyak 36.782,56 ton dengan nilai USD130,34 juta. Sementara, ekspor kakao Indonesia ke Australia sebanyak 18.322,16 ton dengan nilai USD70,35 juta.
Adapun data ekspor kakao ke negara Uni Eropa tercatat ke Estonia dan Jerman. Pada 2021, ekspor kakao Indonesia ke Estonia senilai USD72,63 juta dengan volume 15,2 juta ton. Kemudian, ekspor kakao ke Jerman sebesar USD49,75 juta dengan volume 12,59 juta ton.
Adapun untuk komoditas kopi, berdasarkan Statistik Indonesia 2023 BPS, sepanjang 2022 Indonesia mengekspor kopi seberat 434,19 ribu ton, meningkat 12,92% yoy. Adapun nilai total ekspor tersebut mencapai USD1,13 miliar.
Amerika Serikat (AS) merupakan tujuan utama ekspor kopi nasional pada 2022, dengan volume mencapai 55,75 ribu ton atau 12,84% dari total ekspor nasional.
Negara Eropa tujuan ekspor utama kopi RI adalah Jerman dengan volume mencapai 36,97 ribu ton dan nilai USD 80,93 juta. (Lihat grafik di bawah ini.)
Adapun negara Eropa lainnya adalah ekspor ke Italia 24 ribu ton senilai USD 48,98 juta, dan ekspor ke Rusia 22,69 ribu ton senilai USD 44,16 juta.
Tercatat juga ekspor kopi ke Belgia mencapai 22,19 ribu ton senilai USD 65,04 juta dan ke Inggris 20,77 ribu ton senilai USD 48,25 juta.
Kemudian volume ekspor ke negara-negara lainnya sebanyak 166,94 ribu ton dengan nilai USD 370,78 juta.
Produk Kayu, termasuk Pulp dan Kertas
Sebagai bahan baku berbagai banyak kebutuhan sehari-hari, kayu juga menjadi komoditas yang menjadi perhatian Uni Eropa dalam aturan baru anti-deforestasi. Di Indonesia, nilai ekspor produk kayu melompat 7% yoy pada 2022, dan mencatat rekor baru sepanjang sejarah. (Lihat tabel di bawah ini.)
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dikutip Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), pada 18 Januari 2023, ekspor produk kayu Indonesia pada 2022 mencapai USD14,51 miliar. Dibandingkan 2021, ini merupakan nilai tertinggi di mana nilai ekspor tercatat sebesar USD13,56 miliar pada 2021.
Nilai ekspor 2022 ini merupakan kontribusi dari sejumlah produk kayu. Produk kertas memberi kontribusi terbesar dengan nilai 4,37 miliar dolar AS, naik 18,3% yoy. Disusul dengan produk bubur kayu (pulp) dengan nilai ekspor sebesar USD3,73 miliar, naik 15,1% yoy. Produk selanjutnya yang memberi kontribusi besar adalah panel kayu dengan nilai USD2,86 miliar dan furniture senilai USD2,26 miliar.
Di lain pihak, PDB industri kertas Indonesia sempat tercatat meningkat 3,73% pada 2022. Menurut Kementerian Perindustrian (Kemenperin), kondisi itu terjadi seiring dengan meningkatnya utilisasi industri pulp dan kertas.
Pada 2021, total ekspor industri pulp dan kertas mencapai 11,78 juta ton. Jumlah itu menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor kertas dan pulp terbesar kedelapan di dunia. Sebagai catatan, industri kertas merupakan salah satu subsektor industri pengolahan nonmigas.
Karet
Karet pada akhirnya dimasukkan menjadi komoditas yang diatur dalam EU Deforestation Regulation.
Menurut negara tujuannya, ekspor karet Indonesia paling besar ke Amerika Serikat pada 2022, mencapai USD1,99 miliar. Posisinya diikuti Jepang dengan ekspor karet Indonesia senilai USD1,01 miliar.
Kemudian, Indonesia mengekspor karet ke China senilai USD403,25 juta. Ekspor karet dari dalam negeri ke India tercatat senilai USD217,89 juta.
Korea Selatan turut menjadi negara tujuan ekspor karet Indonesia senilai USD196,65 juta. Lalu, Indonesia mengekspor karet ke Kanada senilai USD187,67 juta.
Ada pula ekspor karet Indonesia ke Brasil senilai USD161,19 juta. Sedangkan negara Uni Eropa penikmat karet RI adalah Jerman dengan nilai ekspor mencapai USD146,16 juta. (Lihat grafik di bawah ini.)
BPS mencatat, nilai ekspor karet Indonesia sebesar USD6,40 miliar pada 2022. Nilai ekspor dengan kode HS 40 tersebut turun 10,13% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar USD7,12 miliar.
Besarnya kontribusi berbagai komoditas di atas pada perekonomian RI menjadikan hambatan pasar Eropa ini menjadi ancaman serius. Meskipun bukan pasar terbesar, namun Uni Eropa tetaplah mitra dagang strategis RI.
Untuk itu, diperlukan kesepakatan komprehensif di antara kedua belah pihak agar perdagangan dapat menghasilkan win-win solution di tengah situasi global yang sedang sulit. (ADF)