IDXChannel - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui sulit untuk menahan subsidi energi di tengah lonjakan harga minyak dan gas di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah.
"Ini susah, karena itu kan balik ke faktor yang sulit kita kendalikan ya. Harga minyak sama kurs, dua-duanya," jelas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif ketika ditemui usai rapat terbatas (ratas) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/4/2024).
Oleh sebab itu, Arifin menyebutkan pemerintah perlu melakukan langkah alternatif setidaknya untuk sedikit meredam subsidi dan kompensasi BBM yang membengkak tersebut.
"Jadi kita harus lakukan satu efisiensi apa yang bisa kita lakukan, kemudian alternatif energi apa energi yang bisa kita manfaatkan di dalam negeri untuk bisa menggantikan itu. dampak (subsidi bengkak) itu bisa kita redam. Tapi itu tidak bisa dalam waktu pendek, tapi program itu sudah ada. SUdah kita programkan dan juga dijalankan dan mungkin kecepatannya ditambah," papar Arifin.
Dalam kesempatan ini, Arifin juga menuturkan dampak perang Iran vs Israel terhadap harga BBM di Tanah Air.
"Kalau 1 dolar [harga minyak] naik itu kan ada balance antara pendapatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pengeluaran subsidi dan kompensasi, jadi kalau sama BBM ini naiknya luar biasa," urai Arifin.
Selain itu, Arifin menuturkan, setiap kenaikan harga minyak per US$1, maka subsidi dan kompensasi untuk BBM bisa naik sekitar Rp3,5 sampai Rp4 triliun.
"Belum lagi kalau Rupiah tiap naik 1 dolar 100 rupiah juga cukup besar. Makanya kita harus hemat energi, efisiensi energi ini harus terus di canangkan di kerjain dan diprogramkan," tutup Arifin.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji Juga telah mengungkapkan harga minyak mentah atau Indonesia crude price (ICP) diprediksi bakal meroket hingga US$100 per barel imbas memanasnya perang antara Iran-Israel.
Tutuka mengatakan, naiknya ICP itu tentunya bakal berdampak terhadap anggaran subsidi serta kompensasi Bahan Bakar Minyak dan LPG 3 Kg. Sebab, melonjaknya ICP itu lebih besar dari asumsi ekonomi makro yang dipatok dalam APBN 2024 sebesar US$82 per barel.
Tutuka bilang, apabila ICP sesuai dengan perkirakan yakni USD100 per barel dengan kurs Rp15.900, maka subsidi dan kompensasi BBM naik menjadi Rp250 triliun dari sebelumnya yang saya lihat sekarang diasumsikan dalam APBN 2024 sebesar Rp161 triliun. Kemudian untuk LPG menjadi Rp106 triliun dari asumsi dalam APBN 2024 sebesar Rp83,3 triliun
"Nah tentunya totalnya ini akan sangat besar kalau kita totalkan itu bisa sampai Rp213 triliun, total subsidi kompensasi baik BBM maupun LPG. Nah kalau (ICP) naik ke USD110 ni akan menjadi jauh lebih besar totalnya mungkin sekitar USD 350 t nanti menjadinya," terang Tutuka.
Ia menambahkan, belakangan ICP memang menunjukan tren kenaikan harga sekitar USD5 per barel setiap bulan bahkan sebelum adanya konflik antara Iran dan Israel memanas.
Jadi itulah kurang lebih gambaran untuk detailnya bahwa, untuk setiap kenaikan ICP yang USD5 per barel setiap bulan itu yang paling berpengaruh besar pertama terhadap subsidi LPG yang akan bertambah sekitar USD5 triliun. Kemudian yang kedua yang paling besar dengan kenaikan ICP USD5, kompensasi solar bertambah Rp6,42 triliun. Jadi itu 2 yang paling besar kenaikannya," papar Tutuka.
Ia juga menambahkan, apabila ICP naik sebesar USD1 per barel maka akan berdampak pada kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp1,8 triliun. Namun, kenaikan PNBP ini tentu diiringi dengan naiknya subsidi energi Rp1,78 triliun dan kompensasi energi Rp5,3 triliun.
"Kemudian untuk kenaikan kurs, tiap 100 rupiah per dolar akan berdampak pada PNBP kenaikan Rp1,8 triliun tapi kenaikan subsidi energi sekitar Rp1,2 triliun dan kompensasi Rp3.9 triliun," imbuhnya.
Jadi dari sini kita melihat akan ada kenaikan PNBP tapi untuk subsidi dan kompensasi akan paling besar," pungkas Tutuka.
(SLF)