IDXChannel - Nilai tukar rupiah terus melemah hingga mendekati level Rp17 ribu setelah jatuh ke level Rp16.640 per dolar Amerika Serikat (AS). Kondisi ini lebih parah dibanding dengan krisis yang terjadi pada 1998 silam.
Ekonom Bina Nusantara University (Binus) Moch Doddy Ariefianto menilai penyebab utama pelemahan rupiah saat ini lebih dipengaruhi faktor domestik dibandingkan eksternal.
Menurut dia, beberapa kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto belum tersampaikan dengan baik kepada masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran para investor.
"Jadi memang kuartal pertama ini banyak sekali aksi dari kebijakan Pak Prabowo yang mungkin misled gitu ya, tidak ditangkap secara proper oleh pasar ya," kata Doddy saat dihubungi IDX Channel, Selasa (25/3/2025).
"Banyak yang mempertanyakan kebijakan Pak Prabowo ini realistis enggak? Kita kan bukan negara kaya, jadi khawatirnya bikin masalah nanti di kemudian hari. Jadi kemarin tuh banyak investor asing memilih untuk melepas saham mereka," lanjutnya.
Doddy memberi contoh pembentukan Danantara, Makan Bergizi Gratis (MBG), serta Koperasi Merah Putih yang dinilainya membuat investor asing memilih untuk menarik investasinya. Hal itu pun berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
Meskipun gejolak ini baru berlangsung sekitar satu bulan, Doddy memperingatkan jika terus berlanjut maka bisa terbentuk ekuilibrium baru. Rupiah pun bisa melemah lebih jauh, misalnya dari Rp16.000 ke Rp17.000 per dolar AS.
Jika itu terjadi, kata Doddy, inflasi berpotensi meningkat karena banyak barang di Indonesia masih bergantung pada impor. Ia memperkirakan setiap 10 persen depresiasi rupiah dapat mendorong inflasi naik sekitar 1,5 persen.
Untuk mengatasi situasi ini, Doddy menilai langkah pemerintah mengumpulkan para ekonom dan pelaku pasar modal untuk memberikan penjelasan sebenarnya sudah tepat. Namun, ia menekankan pentingnya sinyal kebijakan yang jelas dan konsisten.
Menurutnya, kebijakan Prabowo terkait efisiensi anggaran yang kemudian ada alokasi dana ke sektor lain telah membuat pasar bingung. Beberapa kebijakan, seperti rencana holding bank, juga menuai kritik karena berisiko sistemik.
"Nah itu perlu diklarifikasi bagaimana cara meng-adress karena ini sifatnya ini banyak sekali trigger pelemahan kita. Dari dalam pelemahannya, rupiah ini banyak di trigger isu-isu lokal," kata Doddy.
Dia pun menyarankan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian. Jika sebuah kebijakan tidak bisa dijelaskan dengan baik dan tidak meyakinkan pasar, sebaiknya tidak dijalankan agar tidak menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
(Febrina Ratna Iskana)