sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Selain Harga Tak Terjangkau, Ini Sederet Penyebab Backlog Perumahan di Indonesia

Economics editor Nia Deviyana
09/06/2024 12:00 WIB
Backlog merupakan indikator dalam Rencana Strategis (Renstra) dan RPJMN yang mengukur kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan pasokan rumah. 
Selain Harga Tak Terjangkau, Ini Sederet Penyebab Backlog Perumahan di Indonesia. Foto: MNC Media.
Selain Harga Tak Terjangkau, Ini Sederet Penyebab Backlog Perumahan di Indonesia. Foto: MNC Media.

IDXChannel - Indonesia tengah menghadapi krisis kebutuhan kepemilikan rumah, yang dikenal sebagai backlog. Backlog merupakan indikator dalam Rencana Strategis (Renstra) dan RPJMN yang mengukur kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan pasokan rumah. 

Berdasarkan data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia rata-rata mengalami backlog kepemilikan rumah yang sangat tinggi sebesar 13 juta unit dengan tren yang fluktuatif sejak 2010. Pada 2022, Indonesia mengalami backlog kepemilikan perumahan sebesar 11,6 juta unit. Ini merupakan capaian angka backlog terbaik selama 14 tahun terakhir. 

Mengutip Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), permasalahan dasar mengapa angka backlog Indonesia masih sangat tinggi, di satu sisi terdapat kelebihan penawaran rumah (oversupply housing). 

"Namun, di sisi lain terjadi kekurangan penawaran rumah dengan harga terjangkau (undersupply affordable housing)," tulis riset bertajuk "Ribut Soal Tapera: Kebijakan Harga Mati untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?"

Di sisi lain, ada indikasi developer properti lebih memilih berinvestasi membangun unit rumah dan apartemen pada segmen menengah ke atas karena pertimbangan margin profit. 

Di saat yang sama, para developer sulit untuk mewujudkan hunian layak berkualitas karena disebabkan oleh harga lahan yang tinggi, biaya konstruksi yang meningkat, dan kebijakan pembiayaan yang belum optimal.

Untuk rumah tapak, terdapat kendala berupa mahalnya harga lahan yang pada akhirnya menyebabkan harga jual rumah menjadi semakin mahal. 

Sementara itu, jika developer membangun hunian vertikal atau rumah susun (rusun) untuk kalangan menengah atau menengah bawah, margin keuntungan yang diperoleh dinilai relatif tidak sepadan dengan risiko bisnisnya. Apalagi, jika melihat faktor selera pasar di mana rumah tapak masih relatif lebih diminati masyarakat daripada rumah susun.

Faktor lainnya yang cukup relevan dalam menyebabkan tingginya angka backlog perumahan adalah adanya persoalan job-residence spatial mismatch dan fenomena urban sprawl. 

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement