IDXChannel - Kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak di Indonesia menyisakan tangis pilu para orang tua yang terpaksa kehilangan buah hatinya.
Kelalaian industri farmasi dalam menyediakan obat yang aman bagi konsumen pun kini disorot.
Teranyar, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan menyeret dua industri farmasi ke arah pidana. Alasannya, dikarenakan kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) sangat tinggi pada obat yang diproduksi keduanya.
"Yang penting juga dalam proses ini kami sudah mendapatkan dua industri farmasi yang akan kami tindaklanjuti menjadi pidana," kata Kepala BPOM Penny K Lukito dalam keterangan persnya yang disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (24/10/2022).
Penny telah menugaskan kedeputian IV BPOM untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap dua industri farmasi tersebut bersama dengan pihak kepolisian. Saat ini, katanya, kedua industri farmasi dalam proses penyidikan.
"Karena ada indikasinya bahwa kandungan dari EG dan DEG di produknya itu tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan, tapi sangat-sangat tinggi. Dan tentu saja sangat toxic dan itu bisa cepat diduga bisa mengakibatkan ginjal akut dalam hal ini," jelasnya.
Namun, Penny belum mau menyebutkan siapa saja dua industri farmasi yang akan dipidanakannya. Dirinya berjanji akan menyampaikan secara detail kepada masyarakat dalam waktu dekat.
"Sehingga untuk dua, dua industri farmasi, mungkin saya tidak menyebutkan sekarang karena prosesnya masih berlangsung dan akan segera nanti tentu akan kami komunikasikan kepada masyarakat," tandas Penny.
Melihat Kasus di Gambia
Indonesia menuai sorotan setelah kematian sejumlah sekitar 133 anak akibat obat sirup yang menyebabkan gagal ginjal akut.
Sebagai perbandingan, Gambia juga baru saja mengalami kejadian serupa di mana obat sirup yang dikonsumsi anak-anak menelan korban hingga 66 anak akibat gagal ginjal akut.
Disinyalir cemaran yang sama juga ditemukan dalam kandungan obat sirup yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas.
Empat obat yang terkait dengan kematian di Gambia diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals, sebuah perusahaan yang berbasis di New Delhi, India yang mengekspor obat-obatan ke seluruh negara berkembang.
Direktur Badan Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan penyelidikan pada 5 Oktober lalu.
WHO juga mengatakan bahwa analisis dari empat obat telah menemukan jumlah etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang beracun bagi manusia dan dapat menyebabkan cedera serius atau kematian pada anak-anak.
Sebagai negara emerging markets dan salah satu titik cerah ekonomi dunia, kasus keracunan akibat dua senyawa kimia menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia. Pengawasan obat di Tanah Air tak ubahnya seperti di negara berkembang layaknya Gambia.
Kasus ini membuat sistem pengawasan obat di RI disorot.
Dikutip dari laman resmi BPOM, beberapa daftar obat sirup yang dilarang dan ditarik dari peredaran karena terkontaminasi senyawa beracun tersebut di antaranya Termorex Sirup produksi PT Konimex dengan nomor izin edar DBL7813003537A1 dan Flurin DMP Sirup produksi PT Yarindo Farmatama dengan nomor izin edar DTL0332708637A1
Ada juga merk Unibebi Cough Sirup dengan nomor izin edar DTL7226303037A1, Unibebi Demam Sirup nomor izin edar DBL8726301237A1, dan Unibebi Demam Drops nomor izin edar DBL1926303336A1 yang semuanya produksi Universal Pharmaceutical Industries.
Jika merujuk data BPOM, ada sekitar 243 perusahaan farmasi yang terdaftar dan memiliki sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari BPOM per Maret 2022.
Sementara itu, berdasarkan pasal 3 Peraturan Presiden (Perpres) No.80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai fungsi pengawasan dan penegakan hukum.
Adapun BPOM harus melakukan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar sebagai tindakan pencegahan untuk menjamin obat dan makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan.
Namun, Inspektur Utama BPOM, Elin Herlina mengatakan, pihak yang menjadi penanggung jawab atas keamanan, mutu, dan khasiat obat yang beredar di masyarakat adalah bagian industri farmasi.
"Kami tekankan kembali, di dalam UU tertulis bahwa tanggung jawab industri adalah memberikan jaminan memproduksi dan mengedarkan produk obat yang aman, bermutu, dan berkhasiat," kata Elin dalam keterangan pers di Kemenkes RI, Jumat (21/10/2022).
Di Amerika Serikat (AS), ada Food and Drug Administration (FDA) yang mengatur kualitas obat-obatan dengan sangat hati-hati.
Standar peraturan utama untuk memastikan kualitas farmasi diatur dalam Current Good Manufacturing Practice (CGMPs) untuk obat-obatan yang digunakan manusia.
Setiap batch obat yang produksi dipastikan memenuhi standar mutu oleh FDA sehingga aman dan efektif.