“Memang semua mengakui bahwa pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan resiko pengelolaan fiskal. Tetapi dalam LHR 2019, sebelum terjadi pandemi, BPK telah memberi peringatan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam mengelola utangnya,” ujar Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI itu. Berdasar outlook atas realisasi APBN 2021 yang masih berjalan, beberapa aspek LHR BPK tahun 2020 tampak memburuk.
Sementara itu, Hafisz menambahkan, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara masih terus berlangsung. "Sementara itu, postur RAPBN 2022 menargetkan defisit sebesar Rp868 triliun yang artinya seluruh pembayaran pokok utang direncanakan dengan hasil penarikan utang baru," sebut politisi Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) itu.
Bahkan, besaran keseimbangan primer yg direncanakan minus Rp462,2 triliun berarti seluruh beban bunga utang juga dibayar dengan utang baru. Maka dengan kondisi tersebut beban pembayaran pokok utang pd 2022 akan mencapai Rp525 triliun. Dengan demikian, kebutuhan atas utang baru mencapai hampir Rp1.500 triliun.
Kondisi saat ini dan prakiraan kondisi 2022 berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dan mencari utang Rp1.500 triliun bukan hal yang mudah lagi. "Pada akhirnya, kami berpandangan bahwa upaya pencarian utang baru bukan hal mudah pada 2022. Meskipun Pemerintah menilai dampak risiko pembiayaan utang itu sangat kecil. Ini mungkin lantaran krn pemerintah merasa telah memiliki fiscal buffer dan ketersediaan Saldo Anggaran Lebih (SAL)", ungkap legislator dapil Sumatera Selatan I tersebut.
Untuk itu ia mengusulkan perlu mitigasi yang lebih jelas, karena perlu diingat bahwa pengelolaan APBN bukan hanya ditimbang untuk tahun bersangkutan, melainkan hjngga tahun berikutnya secara berkesinambungan. "Ancaman atas kesinambungan fiskal berarti pula ancaman terhadap kontinuitas pembangunan dan ancaman terhadap nasib bangsa, negara dan rakyat Indonesia lintas generasi," pungkas Hafisz. (TIA)