Dia mengungkapkan, overestimasi pajak kerap berakhir pada realisasi yang meleset. Dalam situasi seperti itu, APBN tidak lagi menjadi alat kontra-siklus, melainkan sekadar instrumen administratif yang mengikuti arus ekonomi.
"Padahal, di tengah risiko perlambatan global akibat tensi dagang Amerika Serikat-China dan gejolak harga komoditas, Indonesia justru membutuhkan APBN yang ekspansif dan antisipatif," tutur dia.
Syafruddin juga menyoroti penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang turun dari Rp477,2 triliun (outlook 2025) menjadi Rp455 triliun pada RAPBN 2026.
Penurunan ini menjadi cerminan berkurangnya kontribusi sektor sumber daya alam serta penurunan dividen BUMN. Ketergantungan berlebihan pada pajak mempersempit ruang fiskal.
Ketika ekonomi melambat, penerimaan pajak ikut tertekan, sementara PNBP tidak bisa diandalkan sebagai bantalan. Sehingga perlu adanya strategi diversifikasi sumber penerimaan negara.