sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

'Tech War’ Chip Semikonduktor Berlanjut, Menakar Langkah AS vs China

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
26/10/2022 17:11 WIB
Pembatasan ekspor semikonduktor yang diumumkan minggu lalu ini seolah semakin meningkatkan eskalasi perang teknologi AS-China.
'Tech War’ Chip Semikonduktor Berlanjut, Menakar Langkah AS vs China. (Ilustrasi: Silicon Republic)
'Tech War’ Chip Semikonduktor Berlanjut, Menakar Langkah AS vs China. (Ilustrasi: Silicon Republic)

Angka ini menunjukkan rata-rata impor teknologi ini mencapai USD907,8 juta sejak tahun 1993 hingga Agustus 2022 per tahun. Adapun impor mencatatkan rekor tertinggi sebesar USD2,8 miliar pada Desember 2015.

Perang teknologi antara AS dan China ini dimulai di era pemerintahan Trump dan semakin memanas ketika perang dagang antara kedua negara memuncak pada 2018. Banyak perusahaan AS membatasi produksi dan distribusi chip jenis ini.

Dampaknya, kelangkaan chip semikonduktor secara global semakin terasa di tahun lalu. Meskipun kelangkaan chip ini menjadi berkah bagi perusahaan semikonduktor, namun kondisi ini mencekik perusahaan hilir.

Menurut data Visual Capitalist, perusahaan produsen mobil global mengurangi produksi mereka hingga 7,7 juta unit di tahun tersebut dan merugi hingga USD210 miliar.

Perusahaan elektronik yang membuat produk populer seperti konsol game Playstation 5 juga mengalami kekurangan pasokan chip semikonduktor.

Ancaman Deglobalisasi Kembali Menguat

Sentimen ini tidak hanya menyoal persaingan teknologi, melainkan juga terkait perbedaan nilai-nilai politik dan gejolak geopolitik dan persaingan yang lebih luas secara global.

Menurut analisis Pictet Group, selain bertujuan untuk memperlambat kemajuan teknologi China, dengan kebijakan ini AS berupaya mempertahankan dominasinya sebagai negara yang memiliki keunggulan global dalam hal kecanggihan teknologi.

Dari konsumen hingga produsen komponen elektronik di seluruh dunia diproyeksi akan merasakan dampak dari kebijakan baru kontrol ekspor ini.

Pictet menambahkan, perusahaan di China memerlukan 40% dari semua chip yang diproduksi secara global yang sebagian besar terkandung dalam ekspor elektronik China.

Perusahaan-perusahaan ini, terutama yang memiliki hubungan dengan pemerintah atau militer, saat ini akan merasa lebih sulit untuk mendapatkan produk-produk canggih yang mengandung chip semikonduktor.

Beberapa ahli berspekulasi bahwa China dapat membalas dengan membatasi operasi perusahaan AS di China atau dengan menggunakan pembatasan ekspornya sendiri pada beberapa komoditas strategis seperti logam.

Meski demikian, menurut analisis Pictet Group, keduanya belum bisa dipastikan terjadi, setidaknya dalam waktu dekat.

Sebaliknya, Beijing kemungkinan akan terus berinvestasi besar-besaran dalam riset dan pengembangan di sektor semikonduktor dengan harapan mencapai kedaulatan teknologi. Namun, ancaman deglobalisasi akan kembali meningkat dengan adanya kebijakan ini.

“Pembatasan teknologi pemerintah AS adalah bagian dari “persaingan strategis” yang lebih luas dengan China. Persaingan antara dua ekonomi terbesar dunia ini berkontribusi terhadap deglobalisasi,” tulis Pictet Group dalam laporannya, dikutip Rabu (26/10).

Kondisi ini disebut dapat menyebabkan pertumbuhan yang lebih rendah dan inflasi yang lebih tinggi secara global dalam jangka panjang. Serta, bukan pertanda baik bagi perdamaian dunia.

Pembatasan yang diumumkan minggu lalu ini seolah semakin meningkatkan eskalasi perang teknologi AS-China.

Meski demikian, upaya AS untuk kembali memperkuat keunggulan manufaktur chip sebagai upaya memperlambat kebangkitan militer dan ekonomi China dipastikan akan menghadapi tantangan besar secara global. (ADF)

Halaman : 1 2 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement