"Untuk itu, peningkatan produksi energi tanpa mitigasi akan meningkatkan risiko gas rumah kaca (GRK). Pada 2060, sektor gas rumah kaca akan menjadi 2 miliar ton CO2. Makanya dibutuhkan transisi energi yang memanfatakan EBT dengan tetap menjaga ketahanan energi," ujar Arifin.
Menurut Arifin, dalam roadmap transisi energi, seluruh kebutuhan energi berbasis EBT dari sektor pembangkit listirk akan mencapai sekitar 700 GW, di mana sebanyak 96 persen berasal dari EBT, dan sebanyak empat persen merupakan energi baru, berupa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), hidrogen untuk industri industri dan transportasi.
Dari sisi demand, pemerintah mendorong program pemanfaatan kendaraan listrik, kendaraan berbahan bakar biofuel hingga electric home appliance.
"Untuk itu, sarjana teknik kimia punya peran penting dalam pemnafaatan energi alternatif mulai dari energi surya, panas bumi dan nuklir, hidrogen dan kimia, serta pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk solar dan avtur," tutur Arifin.
Arifin berharap sarjana kimia dapat berkontribusi siginfikan melalui inovasi dan kreasi dalam menciptakan energi bersih guna mendukung transisi energi Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat.