Lebih lanjut, Kresna juga menyoal tuntutan hukuman mati Heru Hidayat dengan persyaratan yang ada dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Di mana, sambungnya, dalam Pasal 2 ayat (2) hukuman mati boleh diterapkan dengan syarat ketika negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana.
"Dalam perkara Heru Hidayat, syarat dan kondisi tersebut tidak ada. Dari awal surat dakwaan tentunya JPU sudah menyadari tidak mungkin menerapkan Pasal 2 ayat (2) ini kepada Heru Hidayat, makanya JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat (2) UU tipikor ke dalam dakwaannya," beber Kresna.
"Nah, kenapa sekarang tiba-tiba dalam tuntutannya malah menuntut mati. Alasan JPU bahwa ini adalah merupakan pengulangan tindak pidana adalah tidak benar, bisa dilihat sendiri di KUHP apa itu pengertian dari pengulangan tindak pidana, orangnya harus dihukum dulu, baru kemudian melakukan tindak pidana," sambungnya.
Selain hukuman mati, Heru Hidayat juga dituntut oleh tim jaksa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp12,643 triliun. Heru Hidayat dituntut untuk membayar uang pengganti tersebut paling lama satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap alias inkrakh.
Jika dalam waktu yang ditentukan tersebut Heru Hidayat tak juga membayar, maka harta bendanya akan disita oleh kejaksaan dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.