IDXChannel - Bagi kalangan muda saat ini, profesi sebagai petani mungkin cukup jarang untuk dilirik. Terlebih menggeluti kegiatan bertani tebu.
Namun hal tersebut yang dilakukan oleh Teguh Cahyono, yang justru membantunya meraup untung yang besar dari ekosistem pertanian tebu.
Sekitar 14 tahun yang lalu, Teguh masih merupaka pekerja di perusahaan kontraktor bangunan dengan gaji sebesar Rp1,6 juta per bulan.
Meski pendapatannya tidak besar, pekerjaan tersebut tetap ditekuni oleh Teguh, mengingat terbatasnya ketersediaan lapangan kerja bagi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) seperti dirinya.
Namun, seiring meningkatnya kebutuhan, pada akhir 2009, Teguh memberanikan beralih profesi menjadi petani tebu, dengan mengikuti ajakan orangtuanya yang sebelumnya juga telah bekerja di perkebunan tebu.
"Saat itu Saya juga belum punya ilmu bagaimana bertani tebu yang baik,” ujar Teguh, Jumat (9/6/2023).
Saat merintis sebagai petani pada 2010 lalu, Teguh hanya mengelola lahan seluas dua hektare yang disewanya dengan harga Rp2,5 juta per hektare per tahun.
Lahan sewaan tersebut merupakan lahan berbatu yang ditanami pohon jati. Berbekal ilmu yang didapat dari internet, Teguh mencoba melakukan upaya penggemburan.
"Jadi, di tahap pertama sampai musim panen ketiga, Saya melakukan eksperimen pupuk lebih dulum," tutur Teguh.
Berkat kegigihannya, tahun demi tahun, Teguh mendapatkan hasil yang baik dan terus memperluas lahan tebunya, hingga mencapai 80 hektare.
Keberhasilan Teguh terletak pada konversi lahan sengon dan jati menjadi lahan tebu yang produktif. Meski lahan awal yang dikelolanya berbatu dan tanahnya tidak subur, Teguh berhasil mencapai produktivitas tebu yang luar biasa, yaitu sekitar lebih dari 185 ton per hektare.
Produktivitas tersebut bahkan jauh di atas rata-rata Indonesia yang hanya sekitar 75 ton per hektare.
Selain itu, kunci kesuksesan ayah dua orang anak ini juga terletak pada praktik bertani yang tepat, penggunaan bibit berkualitas, pemupukan yang lengkap, dan penyediaan air dari sumur bor.
Dengan asumsi rendemen tebu sebesar 8,5 persen, Teguh bisa menghasilkan sekitar 15,7 ton gula per hektare, lebih dari tiga kali lipat rata-rata
produksi gula di Indonesia.
Dengan perjanjian bagi hasil gula sebesar 70:30, Teguh dapat memperoleh sekitar 10,99 ton gula atau setara dengan Rp132.979.000.
Di samping itu, Teguh juga mendapatkan tambahan pendapatan dari bagi hasil tetes sebesar tiga persen per kuintal tebu, yang menambahkan Rp11.100.000.
Dengan demikian, total pendapatan Teguh mencapai Rp144.079.000. Setelah dikurangi biaya sewa lahan tanam, pemeliharaan, dan ongkos tebang muat angkut, Teguh masih mengantongi keuntungan bersih sebesar Rp62.119.000 per hektare per tahun.
"Dari penghasilan itu, sebagian buat operasional kebun, buat keperluan sehari-hari, dan sisanya buat perluasan sewa," ungkap Teguh.
Prestasi ini membawa perubahan signifikan bagi kehidupan Teguh. Kini, pria 39 tahun itu bisa hidup dengan mapan. Sebagai rasa syukur, dari hasil penjualan gula pertamanya, Teguh mendonasikan sebuah kulkas kepada masjid setempat.
"Itu waktu pertama kali panen produktif. Dan alhamdulillah saat ini setiap panen saya usahakan untuk bisa membantu masyarakat sekitar," papar Teguh.
Kesuksesannya dalam mengelola lahan berbatu menjadi lahan tebu produktif juga dia tularkan kepada masyarakat sekitar, di Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso.
Saat ini, Teguh mengatakan sudah ada empat orang binaannya yang sudah merasakan manisnya menjadi petani tebu.
Teguh mengatakan, kesuksesannya tersebut tak lepas dari peran serta dan dukungan dari PTPN Group, melalui PT Sinergi Gula Nusantara (SGN)/SugarCo, termasuk yang berkaitan dengan biaya garap dan pembelian hasil panen.
"Selama ini pola kemitraan kita berjalan dengan baik. Kami berharap, ke depan harga gula bisa terus naik dan harga pupuk juga bisa lebih rendah lagi, sehingga kami sebagai petani lebih semangat," tegas Teguh. (TSA)