Dia menerangkan, risiko ini bisa berwujud risiko politik, bencana alam, atau bahkan risiko kebijakan. Ketika berhadapan dengan listrik atau jalan tol, apakah pemerintah akan berkenan untuk menyesuaikan tarifnya, sehingga mereka bisa menghasilkan pendapatan atau bahkan air.
"Yang ketiga, soal ekosistem, di Indonesia kita benar-benar butuh untuk mengembangkan sejumlah instrumen. Apakah ini pembiayaan, sektor swasta ingin berpartisipasi tapi hanya mau lending ke pemerintah, jadi kami menerbitkan green bonds, sukuk, ini adalah instrumen-instrumen di mana pihak swasta dalam bentuk lending, jadi kami meminjam dari mereka," jelas Sri Mulyani.
Namun, kata dia, jika sektor swasta ingin selera risiko yang lebih tinggi dalam pembiayaan ekuitas, mereka memiliki ekspektasi yang lebih tinggi lagi terkait laba yang diperoleh. Dalam pembiayaan ekuitas ini, ini adalah kerangka kerja risiko yang harus dihadapi dan maka dari itu instrumen terkait jaminan dan manajemen risiko akan mengambil peran.
"Di Indonesia, kami juga mengembangkan Special Mission Vehicle (SMV), seperti PT SMI, IIF, penjaminan seperti PT PII, dan Indonesia Sovereign Wealth Fund melalui Indonesia Investment Authority (INA), yang dibuat untuk menyediakan keterlibatan langsung dengan sektor swasta dengan level selera risiko dan sofistikasi yang berbeda," pungkasnya.
(YNA)