IDXChannel—Kisah inspiratif kali ini datang dari seorang pandai besi yang telah menjalani usaha pembuatan alat-alat untuk pertanian sejak tahun 1980-an. Namanya adalah Sumarno dan ia berasal dari keluarga pandai besi di Tulungagung.
Sumarno atau Pak Marno, adalah pemilik unit usaha yang memproduksi arit, pisau, dan cangkul yang kerap digunakan untuk bertani. Ia kini memiliki 25 karyawan dengan kapasitas produksi sebanyak 60-1.200 bilah parang setiap hari.
Usaha pandai besi sudah menjadi sesuatu yang diturunkan di desa tempatnya tinggal, yakni Desa Kiping, Kecamatan Gondang, Tulungagung, Jawa Timur. Kakek dan ayah Sumarno sendiri adalah seorang pandai besi, dan beberapa kali menjadi empu.
Lewat channel Youtube Pecah Telur, Sumarno menjelaskan bahwa empu adalah orang yang sangat ahli membuat peralatan dari besi dan baja. Dalam hal ini, empu yang dimaksud adalah ahli keris.
Sementara pandai besi adalah para pekerja yang bertugas dan terlibat dalam proses produksi, memukul-mukul bilah besi hingga menjadi peralatan fungsional. Pendahulu Sumarno sendiri pernah menjadi empu keris di desanya.
Bagaimana cara Sumarno bertahan hingga saat ini? Simak ulasannya berikut ini.
Kisah Inspiratif Pandai Besi Pak Marno
Sumarno mengaku keputusannya untuk menjalankan bisnis dengan mengikuti jejak nenek moyangnya adalah sesuatu yang bersifat naluriah. Ayahnya seorang empu, dan dari ayahnya lah Sumarno mempelajari cara-cara memproduksi peralatan pertanian dari besi dan baja.
Jika dulu proses produksi masih menggunakan alat-alat sederhana, kini seiring kemajuan teknologi industri, Sumarno mulai menggunakan alat-alat produksi yang dimotori tenaga listrik. Hasilnya, pekerjaan selesai lebih cepat.
“Dulu alat-alatnya sederhana. Sekarang sudah lebih canggih. Hasilnya lebih tepat dan pengerjaan lebih mudah. Dulu satu orang hanya bisa mengerjakan 10 bilah alat, sekarang bisa selesai 60 alat dalam sehari,” tuturnya.
Proses produksinya pun menarik. Sumarno menjelaskan, arit yang ia buat harus dibakar dua kali. Pembakaran pertama untuk melunakkan baja mentah, pembakaran kedua bertujuan untuk mengeraskan baja yang telah dibentuk menjadi arit atau pisau.
Keberhasilan pembakaran bergantung pada besaran suhu. Terutama saat tahap kedua. Jika besaran api tidak pas dan baja terlalu keras, maka bisa patah saat dicelup ke dalam air.
Untuk mempertahankan bisnisnya, Sumarno menjaga kualitas produk dan hubungan antara unit usahanya dengan pembeli. Jangan sampai, kata Sumarno, nama baik dan merek dagangnya tercemar.
Produk-produknya dikirim hingga Sumatera, Sulawesi, dan Jawa Barat. Padahal ia tak menggunakan metode pemasaran tertentu, namun alat-alat pertaniannya laris terjual hingga ke luar daerah.
“Mungkin karena barang buatan saya ini dibawa ke daerah mereka, lalu para pengguna ini menelusurinya sendiri,” tutur Sumarno.
Selama menjalankan bisnis pandai besi ini, Sumarno mengaku sempat terkendala oleh harga bahan baku. Dulu harga bahan baku mentah bisa ia dapat seharga Rp12.500, namun sekarang menjadi Rp24.000, sehingga ia harus menyesuaikan harga.
Saat ini Sumarno memiliki 25 pegawai di unit usahanya. Ada sebagian yang telah bekerja padanya sejak lulus SD hingga berkeluarga dan memiliki cucu. Kesetiaan itu ia dapat berkat caranya memperlakukan pegawai. Tak jarang Sumarno membantu pegawainya secara finansial saat mereka membutuhkan.
“Saya anggap keluarga. Kami makan bersama. Jika ada yang kesusahan ya saya bantu,” lanjut Sumarno.
Demikianlah kisah inspiratif tentang pandai besi yang berhasil mempertahankan bisnisnya sejak tahun 1980-an hingga sampai pada era industri modern saat ini. (NKK)