“Dari China pun buyut saya adalah pengrajin tahu. Kakek ke Sumedang menyusul bapaknya pada 1917, saat itu sudah ada usaha kecil-kecilan. Waktu pangeran Sumedang lewat, beliau tanya ke buyut saya, ‘Ini apa?’. Dijawab ‘Ini tahu, pangeran’,” tutur Suriadi.
Sang pangeran yang tergugah dengan cita rasa tahu buatan Bungkeng, lantas mengatakan “Wah, kalau dijual pasti laku. Rasanya enak,” setelahnya, Bungkeng pun mulai menjual tahu Sumedang.
Suriadi mengatakan buyutnya memiliki tiga karyawan yang kemudian keluar dari pabrik dan mendirikan usaha sendiri. Ketiganya pun memiliki karyawan sendiri, mereka juga memproduksi tahu Bungkeng untuk dijual.
Pada medio 1970-1980, Sumedang akhirnya mulai dipenuhi dengan penjual dan pengrajin tahu. Dari situlah akhirnya muncul sebutan ‘tahu Sumedang’. Padahal, sebelumnya Sumedang dikenal dengan produksi beludrunya.
“Tahu Sumedang itu bisnis yang menurut saya itu murni karena rasa dan teksturnya digemari banyak orang, sampai akhirnya melegenda sekarang. Padahal tempat usahanya sederhana sekali,” lanjut Renata.