IDXChannel—Toko buku Gunung Agung akan menutup semua operasional gerainya di Indonesia pada akhir 2023. Sebabnya, dampak kerugian yang tak lagi dapat ditanggung perusahaan. Sejak 2013, PT GA Tiga Belas selaku pengelola telah melakukan efisiensi.
Gunung Agung merupakan salah satu toko buku ternama di Indonesia sejak 1953. Bersanding dengan kompetitor utamanya, Gunung Agung pernah menjadi salah satu toko pilihan masyarakat untuk belanja buku dan alat-alat tulis.
Sayangnya, seiring jaman berkembang, persaingan bisnis di bidang perdagangan buku dan alat-alat tulis pun kian ketat. Terlebih begitu toko-toko buku online berskala kecil mulai bermunculan.
Pembaca yang mulanya harus berkunjung ke toko buku untuk membeli buku dan alat tulis, setidaknya sejak satu dekade silam sudah dapat berbelanja buku secara online. Harga buku yang ditawarkan pun lebih murah, sebab toko online tidak membebankan pajak toko layaknya toko buku konvensional.
Berkat kemunculan toko-toko buku online, pembaca bisa mendapatkan diskon mulai 10% sampai dengan 30%, bahkan bisa lebih dari itu jika toko buku tengah mengadakan diskon besar-besaran.
Maka wajar saja toko buku konvensional mulai terkesampingkan. Apalagi, saat ini banyak pedagang-pedagangan individual yang juga menjual buku di e-commerce. Membuka jasa titipan pembelian buku-buku impor, dan menjual buku lokal dengan potongan harga.
Kompetitor Gunung Agung pun membuka layanan pembelian secara online, tentu saja dengan potongan harga yang menggiurkan pembaca.
Lantas, siapakah pendiri dan pemilik awal Toko Buku Gunung Agung? Bagaimana pendirian toko buku legendaris ini? Simak ulasannya berikut ini.
Pemilik Toko Buku Gunung Agung
Pendirian Toko Buku Gunung Agung tak lepas dari peran Tjio Wie Tay, seorang keturunan Tionghoa kelahiran 8 September 1927. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Tjio Koan An dan Tjoa Poppi Nio. Namun pada usia 4 tahun, Wie Tay menjadi yatim.
Wie Tay tumbuh menjadi anak nakal yang suka berkelahi, ia juga suka mencuri buku-buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual ke Pasar Senen demi uang saku tambahan. Namun karena kenalakannya itulah, Wie Tay menjadi pemberani, dan keberaniannya ini kelak mendasari pendirian bisnisnya.
Saat dewasa, Wie Tay sempat berjualan rokok keliling di Senen dan Glodok, hingga akhirnya ia mampu mendirikan kios kecil sendiri dengan hasil keuntungannya. Wie Tay juga sempat mendirikan usaha rokok bersama dua sahabatnya, Tje Kie Hoat dan Lie Tay San.
Mereka bertiga sempat berjualan bir juga, namun secara bersamaan ketiganya juga mulai merambah ke bisnis perbukuan. Mereka berjualan buku-buku impor berbahasa Belanda di toko kecil berukuran 3x3 meter persegi di Kramat Bunder.
Usaha itu kian membesar sampai akhirnya ketiga sahabat itu memutuskan untuk berhenti berjualan rokok, dan memfokuskan bisnis pada penjualan buku dan alat-alat tulis. Pada 1948, ketiga membentuk firma bernama Tay San Kongsie.
Lie Tay San memiliki saham 40%, The Kie Hoat memiliki saham 27%, dan Wie Tay memiliki saham 33%. Wie Tay ditunjuk sebagai pimpinan perusahaan, dan setelahnya, mereka membuka toko buku di kawasan Kwitang.
Saat Belanda meninggalkan Indonesia, ia meminta orang-orang Belanda itu untuk memberikan buku-buku bekasnya dan dijualnya dengan harga murah. Wie Tay mengajak kedua rekannya untuk memperbesar modal. Namun usulan itu ditolak, The Kie Hoat mendirikan tokonya sendiri.
Sebelum Wie Tay membuka toko di Kwitang, area itu masih sepi, tidak ada kios buku ataupun toko-toko lain. Kwitang mulai ramai dengan gerobak buku setelah Wie Tay mendirikan toko di sana.
Nama Gunung Agung dipilih sendiri oleh Wie Tay dari arti namanya yang berarti ‘gunung besar’. Toko itu berkembang pesat. Selain menjual buku, Gunung Agung juga menjual kertas tik dan tinta.
Ia juga menggandeng kalangan wartawan dan pengarang untuk membuat usaha. Pada awal-awal pendirian firma, Gunung Agung menerbitkan buku-buku sastra dari kalangan penulis yang digandeng Wie Tay.
Saat meresmikan firma Gunung Agung, Wie Tay menggelar pameran buku pada 8 September 1953 dengan modal Rp500.000 saja. Ia memamerkan 10.000 judul buku saat itu, dan pameran buku menjadi ciri khas promosi bisnis Gunung Agung.
Setahun kemudian Wie Tay kembali menggelar pameran buku tingkat nasional, di sinilah ia bertemu dengan Presiden Ir. Soekarno dan wakilnya, Drs. Mohammad Hatta. Keduanya adalah tokoh yang sangat dikagumi Wie Tay.
Berkat kesuksesan penyelanggaraan pameran buku itulah, membuat Gunung Agung dipercaya pemerintah untuk menggelar pameran di Medan dalam Kongres Bahasa Indonesia 1954. Setelahnya, ia berhasil membuka cabang toko di Yogyakarta.
Wie Tay mengganti namanya menjadi Masagung pada 26 Agustus 1963. Saat itu, Gunung Agung sudah memiliki gedung toko yang besar di Kwitang. Karena kedekatannya dengan Bung Karno, Gunung Agung pun dipercaya untuk menerbitkan dan memasarkan dua jilid Di Bawah Bendera Revolusi.
Selain itu, Gunung Agung juga menerbitkan buku-buku lain bertemakan Bung Karno, dan inilah yang membuat Gunung Agung kian meroket dalam bisnisnya. Wie Tay meninggal dunia pada 24 September 1990.
Demikianlah sejarah singkat tentang pendiri toko buku Gunung Agung yang kini harus tutup usia karena kerugian bisnis. (NKK)